Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dualisme

19 April 2021   16:58 Diperbarui: 19 April 2021   19:06 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup jadi kelam saat orang mulai membanding-bandingkan keberuntungan dalam nasibnya. Pun kita bisa temukan kesenjangan senyuman, bahkan dalam lagu Britney Spears. 

She's so lucky, she's a star.

But she cry, cry, cries in her lonely heart, thinking.

If there's nothing missing in my life.

Then why do these tears come at night? 

Orang yang kelihatan beruntung, tentunya dengan wajar hanya akan memperlihatkan keberuntungan yang dimilikinya. Padahal dia punya sejuta masalah. Sehingga takdirnya jadi kelihatan utopis. 

Jika kita hanya melihat bumi saat siang hari, kita lupa bahwa di belahan benua nun jauh di sana sedang gelap mencekam. Dan itulah dualisme kehidupan. Dimana kita tak seharusnya berpikir untuk memimpikan memiliki hidup orang lain. Meski yang kelihatannya paling menyenangkan sekalipun. 

Juga tak seharusnya terucap kalimat "mengapa terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan". Karena kita memiliki keberuntungan tersendiri, yang kadang dilupakan. 

Tapi tulisan ini tak menarik kalau terdengar seperti khotbah. Bahkan nasihat, karena urusi saja hidup masing-masing. 

Dan bila kita memaknai Yin dan Yang secara etimologis, beberapa dari kita mungkin akan mendapati sebuah definisi yang menabrak logika. Yin dan Yang adalah konsep dualisme. Seharusnya keseimbangan ada dalam hitam dan putih. Panas dan dingin. Begitupun juga manusia, lelaki tak bisa sepenuhnya hidup sendirian tanpa perempuan. 

Tapi adakah Yin dan Yang merupakan sebuah garis absolut? Bila kita menemukan dualisme dalam satu hal, apakah kita masih yakin jika sekat perpisahan antara garis batas itu masihlah terang? Jika kita mendapati sesuatu berbahaya sekaligus berguna? 

Padahal apakah sesuatu yang luput dari dualisme di dalamnya? Senjata api mungkin benda mengerikan, tapi tidak selamanya. Sebab ia juga sekaligus melindungi. 

Ataukah kita sedang mengalami pasang surut sebuah euforia? Dimana kita telanjur memahami kebenaran dengan terburu-buru. 

Entahlah... 

*** 

Dualisme bekerja membangun semesta. Bahkan ruang juga konon memiliki kebalikannya; waktu. Lawan kata ruang adalah waktu. Namun keduanya saling membangun, dalam konsep kinerja alam raya; mekanisme kosmos. Apakah kita selalu mendapat kesimpulan keliru, ketika mencoba memahami metafisika dengan fisika? 

Yah, dan kita selalu menemukan hal yang bertentangan dalam dualisme. Ruang itu nyata, sementara waktu imajiner. Ruang itu kosong, sementara waktu memenuhi semua. Dan kita tak mengerti dimensi seutuhnya, karena apa yang terlukis dalam kanvas tak bisa menegaskan bentuknya. Dia mungkin harus keluar dan menjadi sesuatu yang seutuhnya. 

Mungkinkah kita bersembunyi dimana, kesendirian tanpa dualisme itu tercipta? Kita yang terjebak dalam satu sisi, gelap misalnya, meskinya bisa melihat putih. Atau selamanya segala jadi tak terlihat. 

Apakah kita percaya pada dongeng, yang berkisah tentang kehidupan bahagia tanpa nestapa? Bahkan orang tua yang berusaha memberikan hal itu kepada anaknya, justru membuat sejarah mencatat sebuah nama; Sidartha Gautama. 

*** 

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun