Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Pagi tentang Rutinitas

2 September 2020   16:37 Diperbarui: 2 September 2020   17:00 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
something-everything-nothing.tumblr.com

Curhat setelah lama hiatus.

Pagi dimulai dengan canda matahari. Mungkin bulan berlalu menyapa sebelum pergi, dan dalam riuh pesta perpisahan singkat itu, panggung disemarakkan dengan nyanyian suara burung yang bangun tidur. Seperti juga saya. Tapi ayam jantan lebih dulu terjaga.

Ada yang mencintai pagi sebagai sekedar karena bisa menyambung nyawa, atau mungkin ada yang menyukai pagi karena bisa menumpuk pundi-pundi. Banyak kisah lain yang tak saya mengerti. Sebab untuk menjelaskan hiruk pikuk pagi, atau keindahannya, tak butuh definisi. Semua sudah mengerti.

Sebuah pagi bermula dengan biasa. Saya pikir mungkin belum ada yang istimewa, kecuali tanggung jawab sederhana menyapa kawan-kawan dengan basa-basi yang sekedarnya.

Sebenarnya tak ingin rasanya mengubah sapaan itu menjadi khotbah. Atau menjadi pamer "aku tahu" yang membosankan. Dalam mengutarakan isi hati, ingin juga seperti layaknya diskusi.

Seperti kata pak Bakdi Soemanto dalam menilai cerpen-cerpen Ernest Hemingway, itu adalah karya yang singkat padat. Sarat makna, namun tak bertele-tele. Hemingway, kata pak Bakdi Soemanto, tidak mengobral kata, tapi menulis dengan sederhana. Hemingway tak bicara rinci, tapi memberi kesempatan juga membiarkan imaji-imaji dan citraannya berbicara sendiri.

Maka apa yang sebenarnya ingin disampaikan Hemingway mungkin adalah misteri. Serupa gunung es yang cuma nampak puncaknya saja, demikian analogi pak Bakdi Soemanto. Orang melihat gagasan itu sederhana, tapi sebenarnya jauh dibawah puncak, ada lembah raksasa yang tak nampak. Apa yang dipendam jauh lebih banyak. Dan semua mungkin sebenarnya diungkapkan, tapi dengan bahasa isyarat dan simbolisasi.

Pagi juga aktivitas yang menyenangkan, kadang membosankan, tentang banjir informasi. Ada air bah tak terkendali yang tak bisa dihentikan, kecuali seseorang tak punya ponsel dan tak ada sinyal. Bahkan saat kita berusaha menutupi kedua telinga saja, informasi itu masih terdengar.

Semua tulisan itu, dalam bahasa Goenawan Mohamad, menghambur dari layar. Keluhan yang minta perhatian, dan kesedihan yang memohon simpati. Semua sungguh mengusik pagi, membuat seseorang tak bisa menikmati kopi. Kecuali kecanduan berita itu bisa diakhiri dengan aktivitas lain yang tanpa opsi: jalan-jalan dan menyapa tetangga. Saat dimana kita akhirnya merasa menjadi manusia seutuhnya.

Matahari sampai di pelataran, hinggap di teras. Saat itulah semua menjadi makin terang. Atau sebenarnya makin sepi? Burung mulai meninggalkan sarang, dan mencoba mencari makan. Seseorang disini masih sendirian. Dan itu menyenangkan. Apakah ini bahasa kejujuran?

Yang terjadi selanjutnya adalah misteri. Sebab waktu tak ubahnya wanita yang sulit dimengerti. Cepat sekali tiba-tiba sudah sore hari. Dan ada seseorang yang belum melakukan apapun. Hanya bertemu siang dengan mimpi. Mimpi yang berantakan, bukan sekuel episode tadi malam. Ini cerita yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun