Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Buku Bajakan yang Niscaya

26 Mei 2020   13:03 Diperbarui: 26 Mei 2020   13:06 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu pernah pada masanya, begitu gila-gilaan mengoleksi buku dan kitab. Saya tak merokok dan tak suka jajan. Kalau ada uang lebih biasanya saya sisihkan. 

Memang tak pernah punya tabungan. Karena selalu habis buat beli bacaan. Kalau mengingat itu sering tersenyum sendiri. Entahlah, sudah berapa yang hilang tak kembali. Sudah tak peduli lagi. Karena zaman telah berganti. Saya juga tak begitu merasa kehilangan, kecuali memang koleksi yang ada di kategori sangat langka.

Sekarang semua buku dan referensi hampir ada format digitalnya. Lagi pula kalau dipikir-pikir, itu lebih praktis. Kalau dulu harus bawa tas besar, sekarang cukup bawa telepon genggam. Ponsel sudah seperti perpustakaan berjalan yang komplit sekali. Tapi gak selengkap di Kwitang, atau loakan di Malang dan Surabaya, dekat monumen apalah itu namanya. Awalnya gak terbiasa baca lewat ponsel, pedih di mata. Pertama-tama mencoba, sekali duduk paling hanya dapat lima puluh halaman. Tapi lama-lama juga nyaman sendiri.

Tapi itu kan ilegal?

Saat baca kitab bajakan kadang agak "gimana" gitu. Ini meskipun saya yakin mushonif ridho, tapi penerbit sudah pasti gak rela yah. Udah bayar editor mahal-mahal, cari-cari manuskrip di perpustakaan yang tulisannya kaya naskah Al-Qur'an Brimingham, keluar duit buat cetak dan jilid, belum lagi biaya promosi dan iklan. Sudah tahu perjuangannya berat gitu, kita yang disini malah tinggal download secara cuma-cuma, hanya modal kuota. Di situs semacam waqfeya.com

Tapi mau gimana lagi, mau beli versi asli, buku fisik, meskipun andai kata punya uang, tapi gak ada yang jual sih...

Maka saya terkekeh sama mas Iqbal Aji Daryono. Seorang penulis di Jogja, bener sih... Tapi ya namanya membaca itu kalau sudah jadi penulis ibarat sarapan. Sudah jadi kebutuhan sehari-hari. Dan agar ikut menanggung rasa kawan-kawan senasib yang menerbitkan buku, mas Iqbal berhenti baca buku PDF. 

Bisa nggak sih? Ya nggak bisa lah... Jadi, mas Iqbal beli buku fisiknya, terus download pdf bajakannya. Memang sih, terlalu ribet bawa buku kemana-mana. Atau mas Iqbal gak beli buku fisik, langsung download pdf bajakan. Dibaca lewat Kindle punya Amazon itu. Tapi hanya khusus penerbit luar negeri yang udah kaya raya. Grup Penguin Books atau apalah. Plus hanya berburu karya penulis yang udah tajir melintir. Mungkin JK. Rowling gak akan keberatan kalau saya baca Harry Potter bajakan. Dia kan udah jadi miliarder.

Tapi kalau semua orang berpikir seperti saya, gak akan ada buku yang laku dijual. Hehehe...

Namanya era digitalisasi, semua seperti sudah ada format praktisnya. Saya sudah lama gak pernah lagi beli koran pagi dan majalah mingguan, karena mudah didapat secara gratisan di forum-forum bawah tanah. Lagi pula sehari dibaca sudah basi. Lalu, kecuali cuma iseng, mungkin belum ada rencana pergi ke perpustakaan. Sudah ada iPusnas, ePerpus punya Gramedia, iJateng, dan lain-lain. Dan itu legal. Alias halal.

Mungkin tindakan pembajakan semacam ini sebenarnya punya misi mulia. Mencerdaskan bangsa. Menumbuhkan gairah membaca. Meningkatkan wawasan dan literasi. Tapi juga punya sisi negatif, mematikan kreativitas penulis. Mematikan industri buku fisik. Bikin penulis yang hidupnya pas-pasan malas membuat karya.

Dalam cover buku bajakan sering ada disclaimer, "pdf ini hanya sebatas review." "Melanggar UU ITE." "Belilah buku aslinya jika sudah tersedia di kota anda." Omong kosong lah... Untung nggak dikasih dalil agama juga.

Tapi ini adalah fenomena yang tak bisa dihindari. Jelas sekali mau tak mau memang harus begini. Diberantas seperti apapun, gak akan bisa, karena ujung-ujungnya adalah idealisme. Tujuan orang membaca itu apa sih? Tujuan orang menulis itu apa sih? Bertukar wawasan. Supaya pandangan penulis bisa sampai pada pembaca. 

Dan jika memandang tujuan akhir ini, seharusnya digitalisasi adalah sarana yang sangat tepat. Semua orang, tepatnya hampir semua orang sekarang sudah bisa mengakses internet. Sementara sarana perpustakaan fisik, dan toko-toko buku fisik sebenarnya masih menjadi fasilitas minim yang sulit diakses bagi sebagian orang. Bahasa kasarnya, komersialisasi buku dan kitab itu menghambat literasi.

Coba tengok salah satu bunyi pasal dalam UU ITE, sebagai "pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia."

UU ITE sendiri menjadi "pasal karet" yang membingungkan. Kalau kita melihat niat baik para pembajak buku yang mencoba menjembatani itikad baik dari tujuan ditulisnya sebuah karya. 

Kalau memang tujuan pembajak adalah menghalangi komersialisasi, tentu dia bisa dipidana. Tapi jika tujuannya mencerdaskan bangsa, pak presiden sendiri mau bilang apa? Bukankah beliau lebih seneng jika rakyat Indonesia cerdas-cerdas, dan minat membacanya meningkat? Alih-alih fakta kalau semangat membaca para kawula muda kian tergerus wabah media sosial.

Memang dilematis kisah Robin Hood. Mencuri demi kesejahteraan rakyat. Membantu yang tidak punya. Tapi Robin Hood tetaplah Robin Hood. Meskipun tujuannya baik, tetap saja di mata hukum melakukan tindakan kriminal. Dilematis, bagaimana menyikapinya?

Maka menurut saya pribadi, digitalisasi adalah niscaya. Tak mungkin dihindari. Seperti kontroversi bunga bank. Saya sendiri juga gak mungkin bisa menghindar dari "tuntutan zaman" ini. Maka, sebaiknya fenomena seperti ini dicarikan solusi dan jalan tengah. Bukan diberantas secara total. Nanti minat baca masyarakat yang sudah sekarat bisa runtuh sama sekali. Saya gak memberikan solusi, maaf, karena tak tahu pertimbangan dari banyak sisi yang harus dipikirkan lebih lanjut. Butuh musyawarah panjang.

Ingatlah nasib penulis yang kerja rodi gak tidur. Seharusnya buku mereka laku sampai dua puluh ribu eksemplar. Tapi gara-gara lima ribu orang download buku bajakan, buku mereka cuma laku lima belas ribu eksemplar. Kasihan... Kesadaran pribadi saja, kalau memang masih punya uang, dan masih bisa beli buku aslinya, jangan download buku bajakan.

Bagaimana menurut anda?

Baca tulisan ini kalau sempat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun