Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Buku Bajakan yang Niscaya

26 Mei 2020   13:03 Diperbarui: 26 Mei 2020   13:06 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam cover buku bajakan sering ada disclaimer, "pdf ini hanya sebatas review." "Melanggar UU ITE." "Belilah buku aslinya jika sudah tersedia di kota anda." Omong kosong lah... Untung nggak dikasih dalil agama juga.

Tapi ini adalah fenomena yang tak bisa dihindari. Jelas sekali mau tak mau memang harus begini. Diberantas seperti apapun, gak akan bisa, karena ujung-ujungnya adalah idealisme. Tujuan orang membaca itu apa sih? Tujuan orang menulis itu apa sih? Bertukar wawasan. Supaya pandangan penulis bisa sampai pada pembaca. 

Dan jika memandang tujuan akhir ini, seharusnya digitalisasi adalah sarana yang sangat tepat. Semua orang, tepatnya hampir semua orang sekarang sudah bisa mengakses internet. Sementara sarana perpustakaan fisik, dan toko-toko buku fisik sebenarnya masih menjadi fasilitas minim yang sulit diakses bagi sebagian orang. Bahasa kasarnya, komersialisasi buku dan kitab itu menghambat literasi.

Coba tengok salah satu bunyi pasal dalam UU ITE, sebagai "pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang dilaksanakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia."

UU ITE sendiri menjadi "pasal karet" yang membingungkan. Kalau kita melihat niat baik para pembajak buku yang mencoba menjembatani itikad baik dari tujuan ditulisnya sebuah karya. 

Kalau memang tujuan pembajak adalah menghalangi komersialisasi, tentu dia bisa dipidana. Tapi jika tujuannya mencerdaskan bangsa, pak presiden sendiri mau bilang apa? Bukankah beliau lebih seneng jika rakyat Indonesia cerdas-cerdas, dan minat membacanya meningkat? Alih-alih fakta kalau semangat membaca para kawula muda kian tergerus wabah media sosial.

Memang dilematis kisah Robin Hood. Mencuri demi kesejahteraan rakyat. Membantu yang tidak punya. Tapi Robin Hood tetaplah Robin Hood. Meskipun tujuannya baik, tetap saja di mata hukum melakukan tindakan kriminal. Dilematis, bagaimana menyikapinya?

Maka menurut saya pribadi, digitalisasi adalah niscaya. Tak mungkin dihindari. Seperti kontroversi bunga bank. Saya sendiri juga gak mungkin bisa menghindar dari "tuntutan zaman" ini. Maka, sebaiknya fenomena seperti ini dicarikan solusi dan jalan tengah. Bukan diberantas secara total. Nanti minat baca masyarakat yang sudah sekarat bisa runtuh sama sekali. Saya gak memberikan solusi, maaf, karena tak tahu pertimbangan dari banyak sisi yang harus dipikirkan lebih lanjut. Butuh musyawarah panjang.

Ingatlah nasib penulis yang kerja rodi gak tidur. Seharusnya buku mereka laku sampai dua puluh ribu eksemplar. Tapi gara-gara lima ribu orang download buku bajakan, buku mereka cuma laku lima belas ribu eksemplar. Kasihan... Kesadaran pribadi saja, kalau memang masih punya uang, dan masih bisa beli buku aslinya, jangan download buku bajakan.

Bagaimana menurut anda?

Baca tulisan ini kalau sempat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun