Hukum zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Namun sayangnya, UU ini belum menyentuh realitas profesi baru di era digital. Perhatian masih berfokus pada zakat hasil pertanian, peternakan, gaji tetap, ataupun pedagang konvensional.
Lembaga seperti BAZNAS dan LAZ, sebenarnya sudah mulai membuat ruang untuk zakat profesi. Tapi, belum ada petunjuk teknis yang tertuju langsung pada konten kreator, padahal potensi  zakat dari sektor ini sangat besar.
Tantangan di Lapangan
Ada beberapa kendala yang membuat zakat profesi konten kreator belum berjalan dengan maksimal:
1. Ketidaktahuan : Banyak konten kreator tidak tahu bahwa mereka tergolong wajib zakat.
2. Pendapatan Fluktuatif : Sulit menentukan haul dan nisab karena penghasilan tidak tetap.
3. Belum Terintegrasi : Tidak ada kerjasama antara platform digital dengan lembaga zakat.
4. Minimnya sosialisasi : Kampanye zakat masih fokus pada sektor formal.
Solusi Untuk Mengatasi dan Harapan Kedepannya
Agar sistem zakat relevan dengan perkembangan zaman, beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah :
1. MUI perlu mengeluarkan fatwa baru yang lebih spesifik mengatur zakat bagi profesi digital.