“Mengapa tidak kader senior, seperti para pejabat setingkat Menteri atau eselon satu lainnya, yang sudah berjuang sejak tahun 1980-an. Apakah hanya karena beliau anak Syaykh Al-Zaytun. Kok jadi KKN gitu?” keluh seorang kader NII faksi Al-Zaytun kepada saya.
“Ah, sudahlah. Tak perlu dikeluhkan. Lagipula, kelima kader itu tak lolos juga, bukan?” jawab saya.
Sebagai catatan, tiga dari lima orang caleg tersebut memiliki kedudukan struktural penting dalam sistem organisasi NII faksi Al-Zaytun. Mohon maaf, jika saya tak bisa mengungkapkannya di sini.
***
____________________________________________________________
Sebagai orang yang pernah memiliki kedekatan dengan kelima caleg tersebut di atas, juga dengan Syaykh A.S. Panji Gumilang, saya mencoba mengambil ibrah (pelajaran) dari kegagalan ini sehingga muncul pertanyaan: “Mengapa tidak sejak dulu saja memutuskan mengambil jalur kepartaian dalam berpolitik, ketika organisasi NII-MAZ masih begitu kuat? Padahal ketika itu ada momen yang begitu kuat untuk membentuk sebuah partai politik–yang akhirnya momen itu diambil secara cerdas oleh PKS.
Saya masih ingat betul, sehari setelah bertemu dengan Jusuf Kalla di kediaman beliau di Jalan Dharmawangsa pada masa Pilpres putaran kedua tahun 2004 lalu, Syaykh Al-Zaytun sempat berpikir untuk membentuk partai politik. Waktu itu, saya termasuk orang yang menjawab “setuju” ketika ditanya oleh “beliau”. Entah, mengapa kemudian rencana itu urung dilakukan.
Saya juga masih ingat betul, ketika berbagai pertemuan dilangsungkan di Wisma Fairbank Senayan, antara para pimpinan MAZ dan tokoh-tokoh politik Orba seperti Harmoko, Haryono Suyono, dan beberapa tokoh lain, yang sepertinya akan bermuara pada pembentukan sebuah partai politik. Namun, lagi-lagi saya hanya bisa bertanya dalam hati: “Entah, mengapa kemudian rencana itu pun urung dilakukan?”
Jika kemudian, artikel ini muncul, semata-mata karena saya resah dengan berbagai ketidakpastian yang dikeluhkan oleh beberapa teman di dalam barisan NII-MAZ–yang sepertinya juga dialami oleh sebagian besar kader-kader NII-MAZ–akan arah perjuangan mereka. Sementara di satu sisi, pengorbanan yang diberikan sudah begitu besar. Memang, meski saya sekarang berada di luar sistem, namun saya merasa bahwa masa 15 tahun keterlibatan saya di NII-MAZ (dengan berbagai konsekwensi terhadap diri dan keluarga saya) merupakan alasan bagi saya untuk tetap berhak ikut merasa resah.
Sekian dulu informasi singkat dari saya. Selengkapnya, nantikan saja sebuah buku yang sedang saya tulis—yang sementara ini akan saya beri judul “Mozaik Hitam Putih Al-Zaytun: Belajar dari Keunggulan dan Kelemahan NII Al-Zaytun”. Semoga, jika tak ada halangan, buku tersebut akan saya rampungkan pada akhir tahun ini.
***