Mohon tunggu...
Kaila Rayya Anjani Notonegoro
Kaila Rayya Anjani Notonegoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa yang memiliki minat di Hukum dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Maraknya Penipuan Jual Beli Online: Apa yang Dapat Dilakukan?

12 Desember 2022   18:26 Diperbarui: 9 April 2023   00:54 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan data  Kepolisian Republik Indonesia (Polri) per September 2020, sebanyak 28,7% kejahatan siber datang dari penipuan online. Dilihat dari 2016 hingga 2020, total ada 7.047 kasus penipuan online yang dilaporkan. Tercatat sepanjang tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendapatkan laporan pengaduan terhadap aksi penipuan pada transaksi online sebanyak 115.1756 laporan. Tercatatat juga pada September 2022, Kementerian Luar Negeri telah melaporkan sebanyak 934 Warga Negara Indonesia (WNI) telah menjadi korban dari kejahatan penipuan online scam yang berlokasi di beberapa negara ASEAN sejak Januari 2021 hingga September 2022.

Dengan data-data tersebut terlihat bahwa terjadi tren penipuan masih marak dan menjadi salah satu dari tindak kejahatan yang harus diperhatikan lagi oleh pihak-pihak yang berwenang. Penipuan yang sangat marak terjadi dalam kegiatan transaksi jual beli online, terkhususnya pada media e-commerce merupakan kekurangan dari sistem transaksi online. Sistem transaksi online seharusnya menjadi sebuah cara bertransaksi yang memberikan kemudahan bagi para pihak yang melakukan transaksi dikarenakan kemudahan yang ditawarkannya, seperti kepraktisan dalam memperoleh akses informasi dan komunikasi yang tidak terhalang oleh hubungan jarak. Walaupun demikian, kegiatan transaksi yang dilakukan secara online bersandar dan bergantung dengan akses internet dan teknologi yang tetap memiliki kekurangan dan celah pada sistemnya.

Besarnya minat berbelanja di e-commerce juga diiringi dengan meningkatnya minat atau angka kejahatan siber yang tinggi. Seharusnya, pemanfaatan teknologi dan internet sebagai perubahan gaya hidup ini dapat memberikan banyak kemudahan dengan memanfaatkan teknologi dan internet dengan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, manusia cenderung mencari celah untuk dapat menyiasati sistem dan mendapat keuntungan dan memperkaya diri dengan usaha yang minimum dan melanggari aturan-aturan serta norma-norma hukum yang berlaku. Bisnis secara online dapat dikatakan mempermudah para pelaku penipuan untuk melakukan aksinya. Ketika masyarakat terus mendidigitalkan kehidupannya, pelaku kejahatan juga mendigitalkan metode yang lebih canggih untuk menembus sistem pengguna dan melakukan penipuan atau pencurian.

Sebenarnya, kegiatan transaksi secara online ini telah dilindungi oleh hukum di Indonesia dengan adanya kehadiran Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini mengatur kegiatan transaksi secara elektronik dan merupakan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang melakukan transaksi online. UU ITE ini melindungi pihak dengan memberikan pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik sebagai bukti sah akan kegiatan transaksi tersebut. Terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun  2019 Tentang Penyelenggeraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang juga menjadi dasar bagi pengaturan jual beli online. Selain itu, penipuan transaksi online yang termasuk dalam kategori cybercrime juga pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu contohnya pada Pasal 362 dan 378 KUHP.

Oleh karena itu, sesungguhnya undang-undang dan peraturan yang ada merupakan upaya serta usaha pemerintah dalam menyediakan perlindungan yang jelas dan dan berkuatan hukum untuk transaksi elektronik. Sangat disayangkan, masih tingginya angka tren penipuan yang memanfaatkan platform elektronik yang dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Penipuan melalui e-commerce kerap dilakukan dengan metode atau modus yang digunakan oleh para penjual untuk menipu konsumer. Modus operandi dapat berupa penjualan berbagai macam barang yang sedang tren atau diminati calon pembeli karena memberikan harga dibawah harga pasar. 

Modus lain yang dilakukan seperti menarik pembeli untuk melakukan transaksi di luar aplikasi e-commerce atau pada media yang tidak terkualifikasi sebagai media transaksi terpercaya. Hal ini dilakukan karena e-commerce memproteksi konsumer dengan baru akan memberikan uang dari pembeli ke penjual setelah transaksi berhasil, sehingga mengurangi resiko dilakukannya penipuan. Modus lainnya seperti, mengambil alih e-commerce tanpa sepengetahuan konsumer dan mengambil saldo yang merupakan uang digital yang terdapat di akun.  Modus-modus tersebut dipermudah dengan sistem transaksi online yang salah satu cirinya adalah paper-less yang dapat menimbulkan masalah terrutama dalam pembuktian, informasi, dan identitas yang diproses yang dapat dimanipulasi. 

Kasus penipuan e-commerce banyak terjadi pada transaksi yang dilakukan melalui media pihak ketiga yang menyediakan platform untuk mempertemukan pihak penjual dan pihak pembeli. Platform seperti ini disebut sebagai Consumer-to-Consumer (C2C) E-Commerce, yaitu transaksi barang atau jasa yang dilakukan dari konsumen kepada konsumen. 

Dikarenakan hanya menjadi media penghubung antara penjual dan konsumen, model e-commerce C2C ini tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap proses transaksi yang dilakukan, seperti kualitas barang, proses pengiriman dan aspek transaksi lainnya. Selain itu, penjualan secara online yang dilakukan di luar media e-commerce seperti melalui media message atau chat yang secara langsung menghubungkan pihak penjual dan pembeli tanpa media ketiga lebih rentan terjadinya penipuan dikarenak tidak adanya pihak ketiga yang bertanggung jawab atau memantau kegiatan transaksi tersebut. 

Meski demikian, terdapat model bisnis e-commerce yang disebut Business-to-Consumers (B2C), yaitu bisnis berbentuk ritel yang menjual barang langsung kepada pelanggan atau konsumen. B2C pada umumnya membeli stok barang untuk dijual. Bisnis ini memiliki gudang tersendiri untuk menyimpan stok barang. 

B2C ini cenderung bersifat lebih aman dan terlindungi karena proses kegiatan transaksi dan kendali mutu merupakan tanggung jawab bisnis e-commerce itu secara langsung. B2C memiliki resiko penipuan yang lebih kecil dibandingkan bentuk e-commerce lainnya dikarenakan konsumen akan berhubungan langsung dengan pihak perusahaan untuk melakukan kegiatan transaksi. B2C juga dapat menyediakan informasi lebih banyak, harga yang lebih murah serta mengatur langsung proses penjualan serta pengiriman kepada konsumen.

Maka dari itu, meskipun kegiatan transaksi e-commerce telah dilindungi oleh dasar hukum yang kuat dan jelas, pelaku tindak kejahatan tetap akan dapat mencari celah untuk mengambil keuntungan secara illegal. Pelaku tindak kejahatan akan memanfaatkan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi elektronik agar dapat memanipulasi dan menipu untuk keuntungan. Yang dibutuhkan oleh konsumen tidak hanya perlindungan hukum, tetapi juga jaminan dari platform e-commerce tersebut yang dapat menjamin tidak terjadinya tindakan penipuan dari penjual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun