Mohon tunggu...
Ahmad Kafil Mawaidz
Ahmad Kafil Mawaidz Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani - Umar bin Khattab

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengalir dalam Mendaki

20 April 2018   21:37 Diperbarui: 20 April 2018   21:50 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Awal bulan lalu, PM atau plant manager di perusahaan tempat saya bekerja memberikan breafing pagi yang berisi sebuah motivasi," saya tidak setuju dengan falsafah hidup itu mengalir.

Hidup jangan mengalir seperti air yang akan terus turun ke bawah dan tanpa ada usaha, tetapi hidup itu harus mendaki, harus ada usaha atau kerja keras untuk bisa mencapai puncak". Puncak yang dimaksud adalah kesuksesan ekonomi, jabatan karier, prestasi atau apapun yang bersifat materialistik.

Mungkin cara pandang yang diambil oleh PM saya tadi adalah sabil dan syari' atau arah tujuan dan proses antara mengalir dan mendaki. Lebih singkatnya, jika ia mendaki arahnya ke atas atau puncak atau ketinggian dan diperlukan etos kerja keras didalamnya.  

Sedangkan saat mengalir, kita akan menuju ke bawah atau kerendahan dengan proses yang sangat pasrah tanpa melakukan apa-apa. Padahal makna mengalir dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah bergerak maju, bukan ke bawah apalagi ke belakang. Bergerak maju adalah hal yang memang harus dilakukan. Karena kita tidak mungkin bisa bergerak mundur dari kehidupan dalam ruang dan waktu yang sama.

Kita memang perlu semangat mendaki untuk mencapai sebuah puncak. Semangat pantang menyerah, menekan egosentrisme, tidak mengenal putus asa. Hal ini akan membiasakan diri agar tak mengeluh ketika menjumpai masalah-masalah dalam pekerjaan maupun kehidupan. 

Sejalan dengan itu, seperti firmanNya dalam surat Al Balad ayat 10-11 "dan kami telah menunjukkannya dua jalan. Akan tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar".

Akan tetapi, kekuatan fisik yang mumpuni belum tentu mampu mengantarkan kita sampai ke puncak. Harus ada mental yang terasah, prasangka yang positif, atau jiwa yang kuat untuk mendorong fisik bisa terus melangkah setapak demi setapak menuju puncak. 

Tidak sedikit mental yang ciut, prasangka negatif, serta jiwa yang lemah menjadi batu sandungan terbesar bagi para pendaki dalam misinya.

Dalam konteks yang skalanya lebih lembut hidup, selayaknya haruslah bersifat mengalir seperti air, mengalir ke tempat yang lebih rendah, bukan berarti dirinya lebih rendah melainkan lebih bias berendah hati. 

Dia akan lebih rendah hati, karena perjalanannya akan menuju samudera. Semakin dewasa atau berpengalaman ia hidup di dunia akan semakin rendah hatinya dan semakin lapang pula hatinya seperti samudera, semakin bijaksana, seperti hilir semua aliran bermuara. 

Bisa menerima segalanya, menyaring yang tak berguna, menyatukan semuanya. Bukan seperti orang dipuncak yang semakin sempit pikirannya, semakin individualis mempertahankan posisinya, semakin merasa tinggi sendiri, merasa hebat sendiri, yang pada akhirnya akan turun kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun