Pernahkah Anda melihat anak SD menghitung kancing atau memindahkan balok warna-warni di meja belajar mereka? ataupun anak yang sedang bermain “game berhitung” di layar tablet?
Dunia pendidikan mulai mengintegrasikan teknologi pada pembelajaran. Guru menggunakan berbagai media digital dalam mengajarkan matematika. Dulu, anak SD sering diberikan alat peraga nyata/konvensional dalam belajar matematika, seperti balok kayu, stik es krim, kelereng dan lain sebagainya. Namum, dizaman modern ini guru mulai beralih menggunakan media digital, seperti canva, video, kahoot ataupun game edukasi. Pertanyaannya, media mana yang lebih baik? Apakah kita masih perlu balok kayu di era serba aplikasi dan layar sentuh?
Dari Balok ke Layar: Pergeseran dari konvensional ke digital
Sejarah pendidikan mencatat bahwa guru sejak dahulu selalu mencari cara agar pembelajaran lebih bermakna. Dalam pembelajaran matematika, media konkret sudah digunakan sejak abad ke-19 untuk membantu siswa memahami matematika. Banyak ahli seperti Piaget, Bruner, Vygotsky yang menekankan pada penggunaan benda konkret pada pembelajaran, karena anak tidak hanya mengembangkan kognitif secara mandiri, tapi juga ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Objek konkret memungkinkan siswa melihat dan menyentuh konsep, bukan hanya menghafalnya.
Namun, memasuki era Revolusi Industri 4.0, muncul perubahan besar. Teknologi digital melahirkan media pembelajaran baru: animasi, aplikasi interaktif, video, dan permainan edukatif. Menurut Khairunnisa & Ilmi (2020), media digital kini dianggap mampu meningkatkan efisiensi, efektivitas, bahkan memungkinkan pembelajaran jarak jauh.
Pandemi COVID-19 mempercepat pergeseran ini. Guru yang dulu menggunakan balok angka kini dituntut menguasai PowerPoint, Canva, GeoGebra, atau platform pembelajaran daring. Dunia pendidikan memasuki fase yang oleh banyak ahli disebut sebagai “konstruktivisme digital”, sebuah bentuk baru dari pandangan konstruktivis yang menekankan peran teknologi dalam membangun pengetahuan. Untuk melihat apakah media digital ini mampu menggantikan media konkret secara utuh ataukah hanya sebagai pelengkap, kita perlu melihat dari segi filsafat pendidikan dan mengkaji penelitian yang sudah ada.
Filsafat Pendidikan Kontemporer dan Paradigma Belajar
Pertama, Jean Piaget dan Jerome Bruner berpandangan pada konstruktivisme klasik, yang beranggapan bahwa anak membangun pengetahuannya secara aktif melalui pengalaman nyata. Anak SD berada pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), artinya mereka berpikir melalui tindakan dan benda yang bisa disentuh ataupun melalui pengalaman nyata. Bruner memberikan konsep belajar yang melalui tiga tahap, yaitu enaktif (konkret), ikonik (semi konkret) dan simbolik (abstrak). Maka, penggunaan media nyata seperti balok, kelereng, atau potongan kertas sangat membantu perkembangan kognitif mereka.
Kedua, Lev Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dan alat budaya dalam belajar. Dalam konteks modern, alat budaya itu bisa berupa teknologi digital. Aplikasi pembelajaran, video interaktif, atau simulasi virtual dapat berfungsi sebagai scaffolding / dorongan yang membantu siswa untuk menjangkau pemahaman yang lebih tinggi.
Ketiga, dalam filsafat pendidikan kontemporer, pandangan humanistik dan eksistensialis yang dikembangkan oleh Paulo Freire dan Carl Rogers menekankan bahwa pendidikan harus memerdekakan dan memanusiakan. Teknologi, dalam pandangan ini, bukan tujuan, melainkan alat untuk membebaskan manusia dari keterbatasan, selama penggunaannya tetap berpihak pada kemanusiaan siswa.