Mohon tunggu...
ARES REVA
ARES REVA Mohon Tunggu... Administrasi - Bookish

Hi, visit me ya di Ceritaaresreva.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembang Desa Trenggalek

31 Desember 2017   22:19 Diperbarui: 31 Desember 2017   22:29 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

"Bu! Kata Bapak, Ibu dulu kembang desa dari Trenggalek, ya?"

Guratan keriputnya nampak kentara saat Beliau sedang berpikir sejenak mengenai kalimatku. Lalu, Beliau tersenyum malu-malu kearahku.

"Terus... Terus..." Senyumku tidak kalah mengembang darinya. Beliau pun bercerita bagaimana kisah cintanya yang tak kalah romantis dari Habibi dengan Ainun, Romeo dengan Juliet, dan Utari dengan Soekarno.

Ahhh ibu... Kenapa rasanya panggilan itu begitu indah saat itu. Bahkan kelakarmu saat mengarang cerita cintamu, telah membuat senyumku mengembang begitu lebar.

"Bu... Ada Ustadzah!" Seruanku membuat beliau tergesa-gesa melepas mukena berwarna putih tulang itu. Kembali, Buk, aku masih tersenyum seketika melihat kaki kecilmu berlari-lari di atas keramik, hanya untuk menemui sosok perempuan yang mengajarimu kalimat Allah.

Kemudian, suara nyaring, tegas, renyah dan indah terdengar memenuhi rumah kami. Suara-suara yang di cintai para Malaikat dan para Nabi. Lebih indah ketimbang penyanyi-penyanyi Internasional yang memecahkan rekor dari ajang American Music Awards.

Kata Beliau, "Ibu iku wes seneng ngelihat anak loro e ibu wes isok ngaji."

Bukankah itu hanya masalah sepeleh buk? Semua orang Islam di dunia ini bisa membaca al- quran. Maaf bu, aku lupa jika Ibu masih di bacaan Iqro. Tapi Ibuku tersayang, suara mengajimu, lantunan baca alif, ba, ta, sha, mengiringiku, membuatku terus-menerus tersadar tentang syair-syair indah dari Allah, tentang kewajiban yang harus aku jalani, dan larangan yang harus kujauhi dari hidipku.

Beliau berdiri di depanku setelah tas di punggungku terlepas. Mataku menilik kearahmu, menatap sebagian rambut yang telah beruban, pandangan mata yang mulai lamur, dan kerutan cantik yang tertinggal di bawah matamu, "Ora usah di hafal. Lapo di hafal! Nggak ilok! Seng bener iku di pahami! 

Di jadiin pedoman kayak pancasila! Lek isok, jadi tulang rusuk mu!" Kali ini Ibu berseru di depanku dengan kening berlipat, alis yang hampir menyatu, dan tatapan mata yang tajam.

Lalu, aku di hantarkan Beliau ke kota yang amat tidak kusukai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun