Siapapun yang mengenal wayang, tentu tidak asing dengan Semar. Bahwa di era wayang yang lebih banyak mengeksploitasi Limbukan dan Goro Goro untuk media hiburan yang diwarnai dengan campur sari yang kadang juga bercampur saru, tokoh Semar tidak lagi dipentingkan. Padahal Semar yang merupakan Batara Ismaya yang turun ke bumi menjadi panakawan, Â sesungguhnya adalah simbol kearifan. Lantas bagaimana menjadi Semar di kontroversi ijasah Jokowi ?
Sejak munculnya keraguan mengenai keaslian Ijasah Pak Jokowi, kontroversi terus bergulir bahkan meruyak ke ranah hukum dan politik. Roy Suryo dan kelompoknya masih terus meragukan keaslian ijazah Presiden RI ke tujuh ini. Sebaliknya pihak pendukung dan penasehat hukum Jokowi bertahan dengan argumen keasliannya. Sebagaimana diberitakan media, termasuk media mainstream, kedua pihak pun saling mengadukan ke polisi dengan menyampaikan tuduhan dan argumentasi. Serupa perang Baratayuda di padang kurusetra: masing-masing kubu melempar senjata, mengatur strategi, saling serang, dengan mencari kelemahan.Dalam perang Bratayuda antara Pendawa dan Kurawa, Semar tidak selalu berperan sebagai penasehat, tidak seperti halnya Kresna. Namun Semar muncul dalam situasi kritis, ketika Bima terdesak oleh amukan Sengkuni yang tidak bisa dilukai dengan kuku Pancanaka sekalipun. Semar dengan tenang memberitahu Bima mengenai kelemahan Sengkuni yang hampir seluruh badannya tidak bisa dikenai senjata dan tak bisa dilukai. Â
Ketika Bima dan Pandawa dalam situasi kritis, karena kesaktian Sangkuni, Semar tampil dengan solusi. Hanya ketika dalam Bratayuda, Bima dan saudaranya adalah simbol kebaikan dan kebenaran, sedangkan Astina dan Sengkuni adalah wujud kejahatan, dalam kasus Ijazah palsu ini, kontroversi tidak membuat kita, atau setidaknya saya, tahu siapa yang benar dan siapa pula yang salah.
Namun ketika dunia digital riuh oleh silang pendapat soal keabsahan ijazah Presiden Jokowi, saya justru teringat pada tokoh tua berperut buncit, berwajah lugu tapi bertabur makna dalam jagat pewayangan: Semar.
Bukan karena Semar lulusan universitas Kahyangan Jonggring Saloka tempatnya para Dewa, atau punya ijazah dari kerajaan Amarta , tapi karena ia adalah lambang kebijaksanaan yang tak banyak bicara, namun dalam tindakannya selalu menyuarakan nilai, dan bersikap tenang dalam situasi krisis dan kritis.
Semar sebagai cermin kesederhanaan, kebijaksanaan dan kecermatan, perlu menjadi diri kita yang tidak terlibat dalam kontroversi. Kekacauan Bratayuda kontroversi ijazah tidak semestinya membuat kita terombang ambing atau terpengatruh dengan lontaran pendapat dan isu isu di media massa dan media sosial, yang ibarat panah  meluncur tiada henti di padang Kurusetra perang Bratayuda. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI