Mohon tunggu...
Juanda Volo Sinaga
Juanda Volo Sinaga Mohon Tunggu... Analis Kebijakan Ditjen Minerba-KESDM

Saya berprofesi sebagai analis kebijakan dengan minat mendalam pada penulisan karya ilmiah, khususnya di bidang kebijakan publik. Saya aktif meneliti dan menulis artikel ilmiah yang bertumpu pada pendekatan multidisipliner dalam menganalisis isu-isu strategis kebijakan, termasuk tata kelola sumber daya alam, mineral dan batubara, energi terbarukan, serta administrasi publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Perang Tak Lagi Jauh dari Halaman Kita

16 Juni 2025   11:23 Diperbarui: 16 Juni 2025   11:23 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Juanda Volo Sinaga

Empat hari terakhir, dunia menyaksikan apa yang semula hanya ancaman berubah menjadi kenyataan. Perang terbuka antara Israel dan Iran. Operasi udara besar-besaran Israel ke fasilitas nuklir dan militer Iran pada 13 Juni 2025 menandai dimulainya fase baru dalam konflik Timur Tengah. Serangan itu bukan lagi aksi pencegahan terbatas, melainkan operasi militer penuh, terkoordinasi, dan bersifat deklaratif. Iran membalas. Rudal balistik dan drone diarahkan ke kota-kota di Israel. Teheran bahkan meluncurkan rudal "Haj Qassem", simbol balas dendam atas pembunuhan Jenderal Soleimani. Eskalasi yang terjadi hanya dalam hitungan hari menunjukkan bahwa kendali krisis telah bergeser dari meja diplomasi ke medan tempur.

Dampak langsungnya segera terasa. Harga minyak melesat sebesar 13% ke angka 75 USD/Barrel, kenaikan intraday tertinggi sejak Invasi Rusia Ke Ukraina. Bahkan JP Morgan sempat menyatakan bahwa harga minyak Brent dapat mencapai $130. Pasar keuangan global bergejolak. Rupiah dan mata uang regional lainnya mengalami tekanan. Sementara itu, arus pelayaran energi di Selat Hormuz yang merupakan jalur vital bagi sepertiga energi dunia berada dalam ancaman blokade. Sebuah ledakan di pabrik gas South Pars, Iran, pada 15 Juni, menunjukkan betapa perang ini mulai menyentuh infrastruktur energi yang menopang stabilitas kawasan dan ekonomi global.

Bagi Indonesia, perang ini bukan hanya berita luar negeri. Krisis energi yang dipicu perang bisa dengan cepat menekan fiskal nasional. Ketergantungan kita pada impor minyak dan LPG menjadi titik lemah yang terbuka lebar. Inflasi energi bisa memicu efek domino terhadap harga pangan, logistik, hingga daya beli masyarakat. Maka, menjaga stabilitas domestik berarti juga menjaga jarak dengan eskalasi global.

Namun tantangan Indonesia tidak semata bersifat ekonomi. Secara diplomatik, kita menghadapi momen untuk menegaskan kembali prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif. Pemerintah Indonesia sudah menyampaikan kecaman atas serangan Israel dan mendesak penghentian kekerasan. Tapi di tengah kebuntuan Dewan Keamanan PBB, serta tumpulnya suara dari negara-negara besar yang justru terseret pada sikap defensif, Indonesia perlu berbuat lebih. Sejarah diplomasi Indonesia menunjukkan kemampuan menjadi aktor jembatan dalam krisis global, dari Asia Tenggara, Timur Tengah, hingga Afrika.

Indonesia bisa menggalang negara-negara nonblok dan OKI untuk mendorong gencatan senjata, sekaligus menawarkan ruang mediasi multilateral melalui jalur-jalur alternatif seperti Qatar atau Oman. Modal diplomasi kita cukup netralitas, legitimasi, dan konsistensi pada prinsip internasional. Justru dalam situasi seperti ini, negara yang tidak memiliki kepentingan langsung justru bisa tampil sebagai suara yang didengar.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana ujung dari perang ini?

Jika tidak ada intervensi diplomatik yang berarti, konflik ini berpotensi melebar menjadi perang regional. Keterlibatan Hezbollah di Lebanon, milisi Syiah di Irak, serta kelompok Houthi di Yaman bisa membuka beberapa front baru yang memaksa Israel mengalihkan fokus dari satu medan ke beberapa sekaligus. Sementara itu, tekanan dalam negeri di Iran untuk membalas lebih keras dapat mendorong keputusan-keputusan militer yang tidak rasional.

Amerika Serikat, meskipun menyatakan tidak terlibat langsung, tetap menjadi aktor kunci yang diamati dunia. Jika Iran menyerang fasilitas atau personel AS di kawasan, keterlibatan militer Amerika hampir tak terelakkan. Maka perang dapat berubah menjadi konflik antara blok kekuatan besar, melibatkan Rusia dan Tiongkok yang sudah menyatakan sikap memihak Iran secara diplomatik. Dunia bisa kembali pada logika Perang Dingin yang bersenjata panas.

Namun, perang seperti ini tidak memiliki pemenang. Bahkan jika satu pihak mengklaim kemenangan taktis, kerusakan strategis akan meluas jatuhnya korban sipil, kehancuran ekonomi, serta melemahnya struktur hukum internasional. Ketika kekuatan militer menggantikan negosiasi, maka setiap negara termasuk yang jauh dari medan konflik akan hidup dalam ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun