Kuda Lumping, yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang atau Jathilan, merupakan salah satu kesenian tradisional Indonesia yang menampilkan tarian menggunakan kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit hewan. Tarian ini biasanya diiringi oleh alunan musik gamelan dan alat musik tradisional seperti kendang, gong, dan kenong. Ciri khas dari Kuda Lumping terletak pada penggunaan kuda tiruan yang dihias dengan warna-warna mencolok, serta gerakan tari yang dinamis dan penuh energi, seperti melompat, berputar, hingga berguling. Dalam beberapa pertunjukan, penari bahkan dapat mengalami kondisi trance atau kesurupan, yang diyakini sebagai bentuk kemasukan roh leluhur atau makhluk spiritual. Atraksi ekstrem sering kali menjadi bagian dari pertunjukan ini, seperti aksi makan beling, mengunyah kelapa, hingga berjalan di atas bara api. Kesenian ini sangat menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut dalam kegiatan pembelajaran sejarah berbasis budaya lokal.
Asal-usul tarian Kuda Lumping memiliki berbagai versi yang dipercaya oleh masyarakat di tanah Jawa. Ada yang meyakini bahwa tarian ini muncul pada masa Pangeran Diponegoro sebagai simbol dukungan rakyat terhadap perjuangannya melawan penjajah. Versi lain menyebutkan bahwa Kuda Lumping sudah ada sejak zaman primitif dan digunakan dalam ritual magis serta upacara adat. Ada pula yang percaya bahwa tarian ini berasal dari masa Kerajaan Mataram sebagai penggambaran latihan pasukan perang di bawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono I. Selain itu, sebagian masyarakat meyakini bahwa Kuda Lumping muncul pada masa Sunan Kalijaga dan menggambarkan perjuangan beliau bersama Raden Patah dan para pasukannya dalam mengusir penjajah dari Nusantara.
Desa Kesamben yang terletak di Kabupaten Blitar memiliki sebuah tradisi kebudayaan yang unik dan menarik perhatian, yaitu pagelaran seni Kuda Lumping yang secara rutin diselenggarakan setiap kali Hari Raya Idul Fitri tiba. Tradisi ini telah menjadi bagian dari perayaan hari besar keagamaan tersebut bagi masyarakat setempat. Pagelaran ini diinisiasi dan diselenggarakan oleh para anggota organisasi kesenian Kuda Lumping yang berdomisili di desa tersebut. Pada awalnya, kegiatan ini memiliki sifat internal, artinya hanya diperuntukkan bagi para anggota organisasi kesenian itu sendiri sebagai bentuk kegiatan silaturahmi dan halal bihalal setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadan. Pertunjukan pun dilaksanakan secara sederhana dan terbatas, biasanya digelar di depan rumah para anggota atau di halaman yang cukup lapang milik salah satu warga. Meskipun pelaksanaannya bersifat internal, masyarakat di sekitar tetap diperbolehkan untuk menonton dan menikmati sajian kesenian tersebut tanpa adanya pembatasan resmi.
Seiring berjalannya waktu, antusiasme masyarakat terhadap pertunjukan ini semakin meningkat. Banyak warga yang mengungkapkan ketertarikannya dan merasa terhibur dengan atraksi-atraksi yang ditampilkan dalam pagelaran Kuda Lumping, seperti gerakan tari yang dinamis, iringan musik tradisional yang membangkitkan semangat, hingga adegan-adegan mistis yang menjadi ciri khas dari pertunjukan tersebut. Respon positif dari masyarakat mendorong munculnya keinginan agar acara ini tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, melainkan dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. Warga kemudian menyampaikan harapan agar pertunjukan Kuda Lumping dapat digelar di tempat yang lebih representatif dan luas, sehingga lebih banyak penonton bisa hadir dan menikmati acara dengan nyaman. Dalam semangat gotong royong dan kecintaan terhadap seni tradisi, masyarakat setempat pun berinisiatif menyiapkan lokasi yang lebih memadai. Tidak hanya itu, mereka juga secara sukarela mengumpulkan dana secara swadaya untuk mendukung kelangsungan acara, demi memastikan bahwa tradisi ini dapat terus lestari sekaligus berkembang menjadi agenda budaya tahunan yang lebih besar dan terbuka untuk umum.
Jadi Kuda Lumping merupakan kesenian tradisional khas Indonesia yang menampilkan tarian menggunakan kuda tiruan dari anyaman bambu atau kulit, diiringi musik gamelan. Tarian ini dikenal dengan gerakan dinamis dan sering kali disertai atraksi ekstrem serta kondisi trance yang memperlihatkan unsur magis dan spiritual. Asal-usulnya beragam, mulai dari masa perjuangan Pangeran Diponegoro, Kerajaan Mataram, hingga zaman Sunan Kalijaga, menunjukkan keterkaitannya yang kuat dengan sejarah dan budaya lokal. Tradisi ini masih hidup dan berkembang di masyarakat, seperti di Desa Kesamben, Blitar, di mana pertunjukan Kuda Lumping rutin digelar saat Idul Fitri dan mendapat antusiasme tinggi dari warga. Hal ini mencerminkan bahwa Kuda Lumping tidak hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang menguatkan identitas dan kebersamaan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI