Mohon tunggu...
Justine Edgar
Justine Edgar Mohon Tunggu... murid sekolah

saya suka membuat artikel

Selanjutnya

Tutup

Seni

Abid: Sosok yang Menjaga Cahaya di tengah Gelapnya Zaman

10 Agustus 2025   23:59 Diperbarui: 11 Agustus 2025   00:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : suaraIndonesia

Di sebuah desa kecil yang indah dan jauh dari sibuknya kota, hiduplah seorang pria sederhana bernama Salman. Usianya sudah melewati setengah abad, rambutnya mulai memutih, dan wajahnya dipenuhi garis-garis kerut yang menjadi bukti panjangnya perjalanan hidup yang ia sudah lewati. Orang-orang di desa memanggilnya Abid Salman, julukan yang ia dapat bukan karena gelar atau kedudukan, melainkan karena ketekunannya beribadah dan ketulusannya dalam membantu orang lain.

Setiap subuh, bahkan sebelum azan terdengar oleh orang lain, Salman sudah terbangun. Lampu minyak kecil menerangi ruang shalatnya, air wudhu membasuh tubuhnya, lalu ia duduk menghadap kiblat. Di malam yang sunyi, suaranya melantunkan doa yang  tenang dan indah, seolah berbicara langsung kepada Sang Pencipta. Bagi Salman, malam adalah saat terindah karena dunia terasa berhenti, dan hanya ada ia serta Tuhannya.

Namun Salman bukanlah sosok yang mengurung diri dalam ibadah ritual semata. Di siang hari ia bekerja seperti penduduk desa lainnya menanam padi, memelihara sayur, dan merawat kebun kecilnya. Bedanya, ia menjalani semua itu dengan hati yang selalu bersyukur. Teriknya matahari atau derasnya hujan tidak bisa membuatnya mengeluh. Justru bagi Salman setiap hal yang sulit seperti teriknya matahari adalah bagian dari rencana Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas.

Suatu tahun, desa dilanda kemarau panjang. Sawah mengering, sumur menipis, dan tanaman layu. Warga mulai gelisah, bahkan saling menyalahkan. Di tengah kekacauan itu, Salman mengajak penduduk berkumpul di masjid. "Kita berdoa bersama," ucapnya tenang. "Dekat dengan Tuhan akan membuat hati kita lapang, dan dari situ kita akan menemukan jalan keluar." Awalnya hanya sedikit yang datang, tapi lama-kelamaan hampir seluruh desa bergabung. Mereka shalat berjamaah, berdoa, dan saling berbagi air yang tersisa.

Beberapa minggu kemudian, hujan turun. Tidak deras, tetapi cukup untuk menghidupkan kembali tanaman dan menenangkan hati warga. Semua bersorak gembira, sementara Salman hanya menunduk sambil berbisik, "Alhamdulillah." Bagi dia, hujan bukan sekadar air, melainkan tanda kasih sayang Tuhan yang datang di waktu yang tepat. Di situlah warga semakin paham, bahwa seorang abid bukan hanya tekun di sajadah, tetapi juga mempraktikkan kasih, kesabaran, dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu warga juga semakin sadar mengenai kehadiran Tuhan yang sudah dikatakan oleh Salman, setelah berdoa mereka semakin bisa meraskan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. 

Dunia ini terlihat  semakin ramai oleh suara ambisi dan kelelahan, orang-orang hanya fokus mengejar harta dan tahta namun ternyata masih ada sosok-sosok seperti Salman yang memilih jalan hidup tenang dan dekat dengan Tuhan. Di pagi hari, mereka adalah manusia biasa yang mencari nafkah untuk bertahan hidup seperti bekerja, belajar, berinteraksi. Namun di malam yang hening, mereka menjadi pelayan Tuhan yang bersujud dalam kesunyian. Sosok seperti ini mengajarkan bahwa spiritualitas bukan sekadar ritual, melainkan jalan hidup yang membawa kedamaian.

Salman juga menjadi pengingat bagi semua orang bahwa sukses sejati tidak selalu diukur dari berapa banyak harta yang dimiliki atau seberapa sering seseorang mendapatkan pujian, melainkan dari sifat yang kita miliki. Ia tidak banyak bicara, namun tindakannya berbicara lebih lantang dari seribu kata.

Dalam dunia yang haus validasi, seorang abid memilih untuk berbicara lewat perbuatan, tanpa suara tetapi penuh makna. Jejaknya akan terus tertinggal, menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun