Mohon tunggu...
Rizky Satria
Rizky Satria Mohon Tunggu... -

Books, Films, and Discussion Addict

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Melirik Mekanisme Produksi BBM di Dalam Negeri

22 Juni 2013   15:08 Diperbarui: 29 Maret 2017   05:00 1704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371905467333848987

[caption id="attachment_269785" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Hari ini Pemerintah telah mengesahkan kenaikan harga BBM.Varian BBM jenis Ron 88 / Premium yang secara umum dipakai oleh mayoritas masyarakat Indonesia dipatok menjadiRp 6.500 per liternya. Masyarakat luas menyikapi hal ini dengan sebuahpro-kontra, ada yang setuju dengan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan ada yang menolak dengan menganggapnya sebagai sebuah ketidakwajaran.

Lebih banyak pro kontra di tengah masyarakat berkisar di seputar isu subsidi dan konsumsi BBM, sehingga banyak pihak berdebat mengenai efisiensi subsidi yang tepat sasaran, dengan upaya “menyelamatkan” uang negara di tengah tingginya konsumsi BBM nasional per harinya. Melihat perdebatan di tataran permukaan seperti ini jelas telah menghilangkan sebuah wacana penting yang luput dari perhatian kita, yakni isu mengenai cara negara memproduksi BBM itu sendiri. Menghitung besaran biaya untuk memproduksi BBM adalah hal yang cukup kompleks mengingat banyaknya varian benchmark atau penentuan harga dasar minyak, varian ongkos produksi terkait lahan eksploitasi, dan varian jenis BBM yang dihasilkan. Namun, saya akan sedikit memaparkan garis besar hitung-hitungan harga BBM ini dengan mengikuti logika pasar bebas dari pemerintah sebagai basis penerapannya. Harga minyak dunia yang fluktuatif berkisar di US$ 100 / barel. Kita bulatkan satu barel menjadi 159 liter dan kurs dolar di Rp. 10.000, maka harga minyak mentah per satu liternya adalah Rp 6.289 (100: 159 x 10.000). Harga bahan baku ini kemudian ditambah ongkos produksi / LRT (Lifting, Refining, Transporting) untuk mengubah minyak mentah menjadi BBM siap pakai seharga Rp 1.364 / liter (ESDM, 2012), maka didapatkanlah harga jual bersih untuk BBM di sekitar Rp. 7.600. Kemudian pemerintah menambahkan harga ini dengan pajak dan lain-lain di 15% menjadi sekitar Rp. 8.700. Harga final ini yang disebut pemerintah sebagai harga ‘keekonomian’, selanjutnya selisih dari harga keekonomian dan harga jual kepada masyarakat adalah nilai subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Menaikan harga BBM adalah upaya pemerintah dalam mengurangi nilai subsidi untuk mengalihkannya ke saluran lain seperti bantuan kesejahteraan, pendidikan, dan kesahatan. Sampai tahap ini, kita dapat menilai bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah kewajaran. Sekarang mari kita cermati hal ini secara lebih jauh. Kenyataannya Indonesia tidak mengimpor sepenuhnya minyak mentah dari negara lain, seperti Jepang, Jerman, Korsel, dan banyak negara lain yang minim sumber daya alam minyak di negerinya. Menurut data yang dirilis ESDM, Indonesia memproduksi minyak mentah 800.000 hingga 900.000 bpr (barel per hari). Namun, jumlah ini harus dipotong oleh Kontrak Pembagian Produksi dengan perusahaan asing, sehingga yang menjadi milik negara hanya di kisaran 500.000 bph saja. Setengah juta barel “milik” negara ini kemudian dibeli dengan harga ICP yang setara dengan harga pasar dunia oleh Pertamina, sebuah perusahaan nasional yang sejak tahun 2001 melalui UU No. 22 mengenai Minyak dan Gas Bumi, telah mengkhususkan diri menjadi korporasi migas disamping Medco, Chevron, Exxon, dan lain-lain. Kemudian mengingat jumlah konsumsi BBM masyarakat yang saat ini terus meningkat hingga mencapai kisaran 1,4 juta bph, Pertamina juga harus mengimpor sisanya di kisaran 900.000 bph, membeli dengan harga pasar dunia dari Arab Saudi, Azerbaijan, dan Nigeria. Sampai tahap ini pemahaman kita akan dihadapkan dengan beberapa ketidakwajaran, pertama: kenapa Pertamina membeli minyak dari pemerintah dengan kisaran ICP yang setara dengan harga minyak dunia?, kedua: kenapa pemerintah hanya mampu memproduksi minyak 900.000 bph dan hanya berhak memiliki 500.000 barelnya saja atas jumlah tersebut?, ketiga: kenapa jumlah konsumsi BBM di masyarakat terus meningkat setiap tahunnya? Pertamina sebagai korporasi migas membeli minyak mentah dari pemerintah sebagai pemilik sumber daya alam, mekanisme ini berjalan dengan logika ekonomi neoliberal yang mengusung pasar bebas dengan perdagangan bebas. Mekanisme ini telah mengelabui masyarakat, bahwa ada pemisahan antara ‘pengeluaran’ negara untuk memproduksi bbm dan ‘penghasilan’ negara dari penjualan bbm itu sendiri. Masyarakat diberikan sosialisasi dan pernyataan bahwa pengeluaran negara untuk subsidi BBM sangat besar, namun jarang sekali muncul pernyataan bahwa penerimaan pemerintah dari penjualan minyak yang masuk ke dalam APBN itu juga tidak kalah besarnya. Selanjutnya di sisi lain, dalam 900.000 bph minyak yang dihasilkan negara, perusahaan asing bisa mendapatkan hingga 400.000 bph sebagai bagiannya, padahal persentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor di atas kertas Undang-Undang adalah sebesar 85 : 15. Rupanya rasio 85:15 itu dibagi setelah total produksi dikurangi biaya cost recovery (ongkos produksi) yang sarat mark-up dan inefisiensi (Hasil audit BPK pernah menemukan biaya yang tidak sepatutnya masuk cost recovery seperti dana untuk CSR). Yang patut diketahui public adalah, biaya cost recovery yang mencakup seluruh biaya operasional perusahaan ini di reimburse kepada pemerintah dengan memangkas langsung dari total produksi minyak yang dihasilkan. Luar biasa. Kemudian, seharusnya pemerintah dapat mengoptimalkan produksi sehingga dapat menghasilkan minyak lebih dari 900.000 bph. Menurut data kajian Badan Geologi, selain dari blok-blok pengeboran minyak yang sedang dieksploitasi di Indonesia Barat, masih terdapat banyak kandungan minyak di wilayah Indonesia Timur yang belum tereksplorasi. Kenyataannya saat ini, Pertamina sebagai perusahaan andalan pemerintah hanya memiliki 6 kilang minyak yang mampu menghasilkan BBM siap pakai 700-800 ribu bph saja. Kekuatan Pertamina sebagai sebuah perusahaan masih lebih lemah dari para pesaingnya di tengah perdagangan bebas yang difasilitasi oleh pemerintah sendiri. Kenyataan ironis di tengah ekspansi 40 perusahaan asing yang sudah memegang izin pendirian SPBU, di mana masing-masing perusahaan asing tersebut memiliki hak untuk mendirikan 20.000 jumlah SPBU di Indonesia. Pengurangan subsidi BBM juga dipicu oleh jumlah konsumsi BBM masyarakat yang terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini tidak terlepas dari peningkatan trend penjualan kendaraan pribadi akhir-akhir ini. Data dari BPS pada kuartal 1987-2011 menggambarkan jumlah kendaraan pribadi bertambah hampir mencapai sepuluh juta unit setiap tahunnya. Jumlah mobil dan motor di Indonesia tahun 2011 mencapai 78.388.207 unit (9.548.866 mobil dan 68.839.341 motor), naik lebih dari 8,4 juta unit dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi ini tidak akan terlalu signifikan apabila pemerintah mampu menyediakan sarana transportasi publik yang lengkap dan nyaman. Tentu setiap orang akan lebih mempertimbangkan untuk memilih transportasi umum yang murah dan nyaman dibanding harus memulai cicilan kendaraan pribadi yang panjang selama bertahun-tahun. Kesimpulannya, tanpa upaya pemerintah untuk dapat mengoptimalkan produksi minyak di dalam negeri, tanpa mengkaji ulang efisiensi kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing, dan tanpa upaya untuk menyediakan sarana transportasi publik yang murah dan nyaman, apakah kenaikan harga BBM ini masih dapat kita anggap sebagai sebuah kewajaran? Saya kira tidak. Wallahu a’lam bishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun