Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Pencekalan Tarian, Film dan Artis Menjadi Perhatian Warga Bandung di Tahun 1959

17 Juni 2016   14:10 Diperbarui: 17 Juni 2016   17:42 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian Rock n roll di London 1959 (kredit foto www.pinterest.com)

Kontroversi di bidang seni, budaya dan hiburan rupa-rupanya lebih menarik warga Bandung untuk menjadi masalah politik daripada politik itu sendiri. Bandung pada 1950-an terlanjur menjadi kota dengan gaya hidup yang metropolis untuk ukuran masa itu. Aktivitas hang out, leisure, dan mencari hiburan menjadi perkara dominan. Berita syuting film di kawasan seperti Karang Setra pada Sabtu 31 Juli dan 1 Agustus 1959 dimanfaatkan benar untuk promosi: berenang sambil menyaksikan para bintang film dalam pengambilan gambar sebuah film.

Keputusan DPRD Kotapraja Bandung pada pertengahan Juli 1959 melarang semua aktivitas sebagai apa yang disebut sebagai tari-tarian biadab sebetulnya merupakan reaksi yang terlambat. Pasalnya, warga menengah urban ketika itu sudah telanjur gandrung. Yang digolongkan sebagai biadab ialah Tari Hula Hoop, Tari Jive, Tari Jitterberg dan Tari Rock n Roll. Sebetulnya tren ini dicontoh dari film layar lebar yang banyak mengambil tema drama musikal.

Untuk pertama kalinya partai berseberangan ideologi seperti Masyumi, NU, PKI, PNI, Katolik, dan Baperki bisa mengambil keputusan secara aklamasi menolak dipertunjukkan tari-tari biadab itu di tempat umum atau yang bisa dilihat umum. Pelanggar akan dikenakan denda Rp100 atau dikurung selama satu bulan penjara. Tari-tarian yang disebut biadab itu sebetulnya hanya varian dari dansa yang digemari kaum urban, terutama kalangan terdidik yang banyak berada di Bandung.

Sekolah-sekolah dansa masih banyak penggemarnya dan selalu ada sekolah dansa yang dibuka. Di antaranya ada yang menawarkan mengajarkan dansa Amerika Latin, seperti Napit School of Dancing di Jalan Kebon Jati 109, Sekolah Dansa Sonje dan Sekolah Dansa Joe. Sekolah tersebut mengajarkan jenis dansa yang popular masa itu seperti Cha Cha Cha, Calypso, hingga dansa ballroom. Kesemuanya berpasangan laki-laki dan perempuan. Acara pesta dansa terus berlangsung di hotel-hotel secara rutin, misalnya di Grand Hotel Lembang yang menghadirkan De Carels and His Piano dan band The Ksatrya Players setiap akhir pekan.

Sikap keras juga ditunjukkan pemerintah Indonesia dengan tidak mengikuti kontes Miss Universe. Rupanya sikap ini mendapat dukungan dari seorang kolumnis harian Manila Times, Alejandro Roces. Kontes yang disebutnya sebagai Bathing Beauty seperti mencari wanita untuk harem dan ditimbang laksana sapi. Bathing Beauty salah satu hal yang paling merendahkan derajat yang dimasuki orang-orang Amerika ke Philipina.

Chritina matia (kredit foto http://www.veestarz.com/mementos/paat/1950s/1959-CRISTINA_MATIAS_01wm.jpg))
Chritina matia (kredit foto http://www.veestarz.com/mementos/paat/1950s/1959-CRISTINA_MATIAS_01wm.jpg))
“Tak ada yang menaruh hati bilamana kita melihat gadis-gadis berpakaian mandi mondar-mandir di muka para juri seperti sapi yang diukur untuk dijual. Cara yang dipergunakan dalam pemilihan bathing beauty mirip dengan cara yang dipergunakan orang zaman dahulu untuk membeli budak belian dan wanita untuk mengisi harem,” tulis Roces yang dikutip oleh Pikiran Rakjat, 9 Juli 1959. Roces menyebutkan Bangsa Filipina harus seperti bangsa Indonesia yang menolak mengirimkan wanitanya untuk ikut Miss Universe. Dia memuji sikap Miss Filipina 1959 Christina Matias yang tidak mau ikut serta dalam pemilihan Miss Universe di Amerika Serikat pada 1959 [1].

The Inn of Sixth Happiness yang Tidak Bikin Bahagia
Peristiwa budaya lainnya yang menjadi isu politik ialah pemutaran film Barat berjudul The Inn of Sixth Happiness yang dibintangi Ingrid Bregman dan Curt Jurgens. Film ini bercerita tentang percintaan seorang relawan perempuan dari Inggris bernama Gladys Alyward dengan pria Eurosia yang menjadi perwira tentara Cina bernama Lin Nan di daratan Cina. Baru poster status segera diputar atau baru direncanakan akan diputar. Mungkin isinya dianggap menghina martabat masyarakat Cina atau tepatnya negara RRC, maka Chug Hua Tsung Hui di Bandung menyampaikan protes keras terhadap PKP KMKB Bandung agar film ini tidak diputar di Kota Bandung.

Poster film The Inn of The Sixt Happiness (kredit foto www.traped-film.com)
Poster film The Inn of The Sixt Happiness (kredit foto www.traped-film.com)
Saya kemudian menelusuri profil The Inn of Sixth Happiness (1958) disutradarai oleh Mark Robson. Film ini berangkat dari kisah nyata ber-setting waktu antara 1930-an hingga pendudukan Jepang di Cina. Dikisahkan Gladys bekerja di sebuah penginapan di desa terpencil yang dimiliki seorang missionaris perempuan Inggris bernama Jeannie Lawson. Dia juga menjadi pekerja sosial dan ketika desa itu diduduki tentara Jepang, ia harus menyelamatkan sekitar seratus anak yatim piatu. Dari sejumlah literature aslinya Lin Nan, orang Tionghoa asli dan bukan pria setengah Eropa dan setengah Tionghoa, hingga dianggap menghina keturunan Tionghoa. 

Gladys yang asli juga memprotes perubahan akurasi sejarah yang dilakukan oleh Hollywood supaya film tersebut dapat dijual di pasar. Tokoh nyata diubah dari yang tadinya berkulit kuning Tionghoa menjadi menjadi superioritas kulit putih. Kesannya kalau tidak berdarah Eropa asli, tokoh tersebut tidak hebat. Tentunya juga ada faktor politik, karena Gladys aslinya pindah ke Taiwan membina rumah yatim piatu. [2]

Pihak DPRD Kota Bandung hanya mengeluarkan anjuran agar pemutaran film ini ditunda untuk waktu tidak ditentukan. Di antara fraksi yang keras adalah dari pihak PKI Kota Bandung, yakni melalui Kardiman Wiraadmadja. Ia menyebutkan film ini menghina supremasi suatu bangsa dan menolak pemutaran film demi persahabatan Bangsa Indonesia dan Bangsa RRC. Pihak PKP KMKB dan pejabat wali kota menyampaikan pada NV Sirnagalih. Namun film ini sempat diputar di Varia, Texas selama dua hari pada 14 dan 15 Juli 1959 untuk kemudian diganti.

Persoalan lain berkaitan film mencuat pada pertengahan 1959 ialah banyaknya anak-anak di bawah umur menonton film yang diperuntukkan untuk 17 tahun ke atas. Persoalan sudah beberapa kali diungkapkan. Keresahan itu antara lain dilontarkan warga bernama Mahduri Yusuf dan kemudian A. Ridwan di Jalan Lengkong Tengah 22 dalam Pikiran Rakjat 2 Juli 1959 yang menduga bahwa anak-anak di bawah umur (mungkin maksudnya remaja) menonton film 17 tahun karena kelangkaan film-film untuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun