Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (1) Teror di Tangkubanparahu dan Tahun Baru Terakhir Warga Belanda di Bandung

28 April 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:35 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_413413" align="aligncenter" width="300" caption="Piknik di Tangkubanparahu 1950-an (kredit foto kredit foto http://kumeokmemehdipacok.blogspot.com/2013/06/sejarah-pendakian-gunung-tangkuban.html)"][/caption]

Pada 1 Januari 1958 empat pemuda Tionghoa bernama Wi Ping Siong, Liong Ize Yun, Wak Fuk Njan dan Liong-liong Tjian Fuk bertamasya ke Tangkubanparahu. Hal yang lazim dilakukan oleh warga kota Bandung. Sekalipun gangguan keamanan di Jawa Barat masih merupakan persoalan, tetapi tidak membuat banyak warga Bandung untuk mengurungkan minat berwisata ke Gunung Tangkubanparahu. Warga Bandung baru gempar ketika para orangtua keempat pemuda itu melapor ke polisi bahwa mereka tidak kembali ke rumah orangtuanya hingga 5 Januari 1958 atau dilaporkan hilang . Polisi segera melakukan penyelidikan dan mendapatkan laporan dari seorang pemilik restoran yang mencium bau busuk di sekitar Kawah Upas. Restorannya sendiri terletak 3 km dari kawah dan sang pemilik kebetulan sedang berada di sekitar tempat itu.

Beberapa hari kemudian polisi menemukan tiga antara empat pemuda itu sudah menjadi mayat. Penemuan mayat pada 6 Januari 1958 pukul 16.00. Mereka kemudian diidentifikasi sebagai Liong Tze Yun, 20 tahun, Fuk Njan berusia 19 tahun dan Ping Siong, 19 tahun. Orang keempat tidak diketahui nasibnya hingga beberapa hari kemudian. Spekulasi bermunculan dan mengarah bahwa terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata. Namun polisi memberikan keterangan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh orang keempat dengan latar belakang sebetulnya hanya masalah asmara. Pelaku disebut kemudian menyerahkan diri ke polisi.

Rupanya keterangan polisi tidak dipercaya begitu saja. Peneluruan wartawan Pikiran Rakjat menunjukkan dari keterangan seorang pedagang soto di depan Stasiun Bandung yang menjadi saksi mata sebelum keberangkatan mereka ke Tangkubanparahu tidak ada tanda-tanda pertengkaran. Mereka makan sekitar pukul tujuh pagi pada 1 Januari 1958. (Pikiran Rakjat, 7 Januari dan 13 Januari 1958, Antara 7 Januari 1958).

Pembunuhan tiga pemuda Tionghoa itu menggambarkan belum pulihnya kemananan di Jawa Barat, sekalipun daerah iu bukan di daerah Prianagn Selatan yang banyak mendapat gangguan gerombolan bersenjata. Daerah Tangkubanparahu yang biasanya aman untuk dijadikan tempat pelesiran. Belum selesai di benak warga tentang pembunuhan tiga pemuda Tionghoa, pada pertengahan Januari 1958 iring-iringan tujuh buah truk dari Jurusan Subang ke Bandung di kaki Gunung Tangkubanparahu, di perbatasan Kabuaten Purwakarta dan Kabupaten dicegat gerombolan bersenjata. Dua bal beras dirampas. Knek truk terluka karena tembakan. Dua puluh menit kemudian sebuah jeep diberondong tembakan karena menolak berhenti, supirnya terluka (Pikiran Rakjat, 16 Januari 2015).

Serangan atas kota Lembang pada Minggu malam 18 Januari 1958 juga dilaporkan berasal dari jurusan Gunung Tangkubanparahu. Sekitar 50 orang anggota gerombilan dipukul mundur oleh pasukan TNI yang datang dari kota Bandung setelah mendapat laporan dari penduduk. Mereka sempat merampok beberapa rumah dan hendak meneyrang sebuah pos aparat. Sekalipun gagal di Lembang gerombolan bersenjata lainnya meneyrang Cililin, Kabupaten Bandung bebrkuatan 50 oarng dengan 2 bern, sebanyak 4 rumah dibakar (Bintang Timur 22 Januari 1958).
Pidato Gubernur Baru Ipik Gandamana dan Panglima Siliwangi R.A Kosasih seakan-akan mengulang pidato rutin gubernur dan panglima sebelumnya bahwa masalah keamanan masih merupakan hal yang akut. Bahkan Ipik mencemaskan cetusan ketidakpuasan di daerah-daerah, sekali pun ia amsih optimis tidak akan keluar dari persatuan kebangsaan. Kosasih sendiri lebih mencemaskan kondisi Jawa Barat yang masih jauh dari memuaskan.


..maka njatalah bahwa perampokan-perampokan, pembakaran-pembakaran dan pembunuhan-pembunuhan bukan sematjam kerdja. negara dan agama. Biar pun pekerdjaan itu dihaisi dengan ajat-ajat Al Qur'an, biar pun perampokan-perampokan itu dinamakan infaq dan qhonimah..Peradjurit Allah tidak emrampok, tidak emlindungi kemalasannja dengan kalimat Allah, tidak berkorupsi denagn perintah dan kekuasaan Tuhan...(Pikiran Rakjat 2 Januari 1958).

Ipik Gandamana dalam pidatonya selama 18 menit menyatakan:

Meskipun keadaan politik dalam negeri sering menimbulkan matjam2 kehebihan dan keamanan jang dirindukan rakjat terutama diplosok2 belum djuga dapat dipulihkan, tapi pekerdjaan pembangunan berdjalan terus. Buah demokrasi lambat matangnja, tetapi akarnja tumbuh mendalam. Kita dengan mutlak memilih djalan demokrasi ini ...(Antara, 1 Januuari 1958).

Seakan membenarkan pidato Kosasih dan Ipik Gandamana awal Januari 1958 dibuka dengan terjadi serangan atas beberapa desa dalam wilayah Kabuaten Garut dan daerah Priangan lainnya. Di antaranya sebanyak 112 (ada yang menyebut 116) rumah, 3 masjid, satu banguan pos dan satu biak tentara di Desa Pasantren di Kecamatan Wariaradja dibakar habis. Gerombolan juga menyerang pos tentara/OKD dini hari. Seorang penduduk tewas. Gerombolan juga meneyrang Cisanggiri, distrik Tarogong membuat 27 rumah digarong dan 12 rumah di Desa Cipari termasuk Kabupaten Ciamis juga dibakar. Beberapa hari kemudian jumlah korban ternyata bertambah sebanyak 10 anggota OKD gugur (Pikiran Rakjat, 3 Januari dan 4 Januari 1958). Gerombolan bersenjata juga menyerang sejumlah desa di Kabupaten Tasikmalaya, seperti Desa Gurangsen, Desa Pagaergeung, beberapa rumah dibakar, 15 rumah dirampok, tiga penduduk tewas dan dua luka-luka. Namun enam anggota gerombolan dilaporkan menyerahkan diri bersama dua sten gun pada pos tentara (Pikiran Rakjat, 9 Januari 1958).

TNI mengambil ofensif pada pertengahan Januari 1958 di priangan Selatan. Operasi pembersihan dilakukan oleh Batalyon 608 antara lain di Cijulang, Pegunungan Cimendung di mana pihak gerombolan selalu menghindari pertempuran. Dalam bentrokan yang tka terhindarkan TNI berhasil menewaskan 11 anggota gerombolan dan seorang gerombolan meneyrahkan diri ebrsma tiga orang anaknya bersama, 11 kwintal padi, satu ton oyek (singkong) dihancurkan. Beberapa macam seperti ats patroli helm dan uang Rp50 disita .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun