Tokoh Itjih mempertanyakan jalan keluar harus menikah lagi bagi janda? Sebab memperoleh suami bukan dibeli seperti di pasar. Â Seharusnya masyarakat menerima janda sebagai layaknya anggota masyarakat biasa (seperti halnya menerima gadis atau ibu rumah tangga).
Tokoh Itjih tampaknya menyuarakan kesetaraan jender masa itu malah menyebut ada perempuan yang lebih suka cerai dan jadi janda (karena berbagai persoalan). Janda seperti ini lebih suka hidup sendiri dan mencari nafkah sendiri.
Sementara Mang Brata kemudian membenarkan masyarakat kuran semestinya  memandang janda. Para istri cemas kalau suaminya bergaul dengan janda. Untuk itu para janda tidak akan merugikan bila memiliki kematangan dan sadar menghadapi lingkungan sekelilingnya dan menghindarkan segala kemungkinan buruk akibat godaan laki-laki.
Kalau menyimak ucapan Mang Brata, janda itu punya beban menjaga moralnya, sementara laki-laki (yang bersuami) Â tidak harus menjaga moralnya dengan bergaul dengan janda.
Mang Brata juga menyebutkan janda cantik yang suaminya gugur dalam perjuangan kemerdekaan, memilih untuk membesarkan anaknya dan mencari nafkah sendiri. Â Padahal yang mencintainya banyak sekali.Â
Apa yang diungkapkan Mang Brata mungkin mengacu pada kemandirian jadi "single parent" (isu yang belum jadi wacana umum masa itu). Bagaimana dengan perempuan yang hanya jatuh cinta pada satu orang dan suaminya itu meninggal, apa dia harus menikah lagi untuk dapat prestise normal di mata  masyarakat.
Kategori JandaÂ
Saya tertarik pada yang diungkapkan Ahmad Ali Imron dalam artikelnya bertajuk "Status Janda dalam perspektif Gender" di e-journal UIN Malang pada 2009.
Imron membagi janda dalam tiga kategori, yang pertama janda yang tinggal mati suaminya dan memilih melanjutkan hidup sendiri, karena tidak ada sosok yang bisa menggantikan suaminya. Janda ini punya memori yang indah hingga sulit terlupakan.
Janda seperti ini cenderung mendapat respon yang positif di mata masyarakat, apalagi kalau terlihat keluarganya harmonis. Â Tentu saja bagi janda-janda yang suaminya merupakan tentara yang berjasa bagi negara.
Tidak demikian dengan janda cerai, cenderung mendapat respon negatif, terutama dari kalangan ibu-ibu, yang memberi stigma bahwa janda adalah perempuan gatal dan gampangan. Ada juga yang disebut janda kembang, masih muda dan cantik, hingga banyak laki-laki mendekatinya.