Artikel itu mengungkapkan bahwa para janda di Batavia pada abad ke 17-19 hidup dalam kelimpahan hingga menjadi buruan para lelaki muda. Bahkan ada laki-laki Eropa yang sengaja mendekati janda agar bisa melunasi utangnya atau menumpang hidup. Yang berkonotasi negatif adalah laki-lakinya.
Pada masa itu, perempuan yang telah menikah dua hingga empat kali bukan sesuatu yang fantastis. Barangkali salah satu alasannya, rata-rata perempuan di Batavia mempunyai kecenderungan berusia lebih panjang ketimbang suami mereka.
Para nyonya punya keleluasaan berbisnis, lantaran para suami mereka yang bekerja sebagai pegawai VOC dilarang melakukan perdagangan pribadi. Peraturan ini diberlakukan sangat ketat sehingga para nyonya memainkan peranan penting dalam kiprah menimbun kekayaan.
Para nyonya besar, terlibat langsung dalam jaringan bisnis dagang pribadi. Sebagian dari mereka  menjadi makelar wisma mewah  hingga rentenir yang meminjamkan uang kepada orang-orang Tionghoa di Batavia.
Isu Janda dalam Pergerakan Nasional
Sejumlah pelopor emansipasi seperti Kartini (1879-1904) dan Dewi Sartika (1884-1947) membuat  terobosan agar perempuan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Para perempuan selain belajar membaca dan menulis, juga diajarkan keterampilan. Pemberdayaan janda tampaknya belum menjadi perhatian khusus. Â
Tokoh emansipasi lainnya Rohana Kudus (1884-1972) melangkah lebih mau. Dia menerbitkan "Soenting Melajoe" media komunikasi para perempuan tidak saja di ranah Minang, tempat kelahirannya, tetapi juga seluruh penjuru Indonesia. Dengan media ini perempuan bisa menyuarakan aspirasinya dengan menulis.
Rohana juga mendirikan Sekolah Amai Setia, yang memberikan bekal bagi perempuan untuk berdaya secara ekonomi di sektor riil dengan menjadi wirausaha. Dengan punya keterampilan, perempuan tidak bergantung dengan laki-laki, terutama kalau dia jadi janda bercerai atau ditinggal mati suaminya.
Pada perkembangannya gerakan perempuan merebak seiring  dengan munculnya organisasi pergerakan. Restu Diniyanti dalam artikelnya bertajuk "Potret Gerakan Perempuan di Batavia: Poetri Mardika 1912" dalam "Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah" 3 (2) 2020 mengungkapkan ketika organisasi pergerakan muncul, ada gerakan perempuannya.
Kelompok pergerakan perempuan dari Sarekat Islam ialah Wanudiyo Utomo kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII), bagian perempuan dari Muhammadiyah adalah Aisyiyah, dan perkumpulan perempuan dari Sarekat Ambon adalah Ina Tuni.
Rata-rata perkumpulan-perkumpulan perempuan di atas bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi perempuan memiliki kepandaian-kepandaian khusus, seperti keterampilan menjahit, membatik, merenda, dan sebagainya.