Awal Januari 1962 Pemerintah Kota Bandung merasa malu ketika "tetangga" mereka Ciamis dan Cianjur mengumumkan warganya sudah bebas dari buta huruf. Pada pertengahan  Januari 1962 Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan pernyataan, Bandung tertutup bagi orang yang buta huruf berusia 13 hingga 45 tahun.Â
Tindakan tegas yang akan dilakukan ialah mereka yang buta huruf tidak akan mendapat pelayanan surat keterangan dari pemerintah kota, misalnya surat pindah dan surat pendatang, kecuali sudah mendapat surat keterangan bisa membaca dan menulis. Â Â
Rukun Kampung (RK) diminta mencatatkan orang-orang yang buta huruf usia 13-45 tahun. Ruangan sekolah dan madrasah digunakan untuk ruangan kursus dan guru ditunjuk oleh Kepala desa. Kursus yang diselenggarakan selama tiga bulan dan yang lulus mendapat ijazah.
Selain masih warga yang sudah "berusia" belum mampu membaca dan menulis, jumlah Sekolah Rakyat (SR) yang ada di Kota Bandung  hanya mampu menampung 106 ribu dari 160 ribu anak usia sekolah. Itu, kan artinya sepertiga lagi sekitar 54 ribu terancam jadi buta huruf juga.  Untuk yang kedua ini sudah ada dana dari pemerintah dan Wali Kota Prijatna Kusumah membentuk Panitia Pembangunan Sekolah Rakyat di Bandung.
Untuk yang ketiga perlu  cara yang cepat, yaitu untuk memberantas buta huruf  ialah dengan menambah tenaga pengajar. Akhirnya Pemkot merencanakan mengerahkan tiga puluh ribu mahasiswa yang berada di Bandung untuk ikut mengajar warga Bandung yang tidak bisa membaca.
Tiga puluh ribu mahasiswa artinya lebih dari tiga persen populasi Kota Bandung. Ada potensi lain yang bisa dimanfaatkan dari mahasiswa, dikaitkan dengan semangat membebaskan Irian Barat, serta kepentingan negara lainnya kalau Indonesia harus berperang melawan Belanda.
Cikal bakalnya sebetulnya sudah dimulai  pada 13 Juni 1959, ketika keluar  keputusan Pangdam VI Siliwangi , Kolonel Kosasih No.402/2/5/1959, tentang  Wajib Latih  (WALA) Mahasiswa. Tujuannya  ikut membantu aparat mengatasi persoalan keamanan di Jawa Barat, terutama yang di timbulkan oleh DI/TII Kartosuwiryo. WALA Mahasiswa Angkatan 45 ini adalah Resimen Mahasiswa pertama di Indonesia, sebagai komandan pertama adalah Kapten Ojik Soeroto.
Sebagai kelanjutannya,  sejak  13 Juni sampai 14 September 1959 diadakan latihan yang pertama kali di kota Bandung yang menghasilkan satu Batalyon Mahasiswa dengan kekuatan 6 kompi, terdiri dari 4 kompi mahasiswa ITB, 1 kompi gabungan Universitas dan Akademi swasta.
Nah, pada 1962 ini Kodam V Siliwangi di bawah Pimpinan Ibrahim Adjie  mendapat telegram untuk membentuk Resimen Mahasiswa sebagai pengausa perang di Jawa Barat.  Perintah itu kemudian disambut baik oleh Presiden Universitas Padjadjaran Prof Suria Sumantri dan ditunjuk menjadi koordinir 30 ribu mahasiswa, seperti dilansir Pikiran Rakjat, 21 Januari 1962.
Namun dalam rapat kerja pembentukan Resimen Mahasiswa di Gedung Serbaguna Unpad pada 22 Januari 1962, Kolonel Dr Sumantri Hardjo Prakorso seorang perwira Siliwangi menyebut, bahwa perekrutan mahasiswa untuk menjadi Menwa tidaklah segera dijadikan tenaga tempur.Â