Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Depok, Kota "Pelayan" Jakarta atau Kota Mandiri?

11 Desember 2017   14:25 Diperbarui: 14 Desember 2017   21:54 2618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Sejarah Depok/Foto: Irvan Sjafari.

Sekitar 1983 sewaktu duduk di bangku kelas satu SMA 28 Ragunan, saya bersama kawan-kawan mengunjungi rumah seorang kawan sekelas di Depok II. Kami menumpang bus angkutan umum kecil dengan perjalanan lebih dari satu jam walau pun tidak macet.

Yang saya rasakan benar-benar berpergian ke kota yang jauh dari Jakarta. Yang jadi pertanyaan saya ialah bagaimana Depok waktu malam? Bagaimana anak muda mencari tempat nongkrong? Para orangtuanya saja menyekolahkan anaknya ke Jakarta.

Ada dua kemungkinan, sekolah terbatas masa itu untuk tingkat SMA atau mereka tidak percaya dengan kualitas pendidikan di Depok.    

Sebagian teman-teman SMA saya memang tinggal di Depok, selain Depok II, mereka tinggal di Depok Timur dan Depok I. Kebanyakan mereka tinggal di Perumnas, orangtuanya bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta di Jakarta.      

Akses yang paling cepat bagi kawan-kawan di Depok pergi ke sekolah naik KRL (kondisinya tidak sebaik sekarang). Tidak jarang saya mendengarkan pengumuman dari guru banyak siswa telat kalau perjalanan kereta api terganggu.  

Saya sendiri tinggal di kawasan Cinere, namun waktu itu belum masuk Depok, masih Kabupaten Bogor. Sebagian warganya juga bekerja di Jakarta, sementara anak-anaknya juga bersekolah di Jakarta. Belakangan setelah Kotamadya Depok terbentuk pada 1999, Cinere masuk ke Kecamatan Limo dan masuk Depok.

Pada September 1987 Kampus UI resmi dibuka dan dijadikan tempat kuliah. Saya bersyukur karena tadinya saya kuliah di Fakultas Sastra UI di Rawamangun harus menempuh perjalanan lebih dari dua jam, kurang dari satu jam karena adanya angkot 02 melalui jalur "jalan kampung", hingga tidak menemui kemacetan.

Pembangunan perumnas, perumahan komersial swasta seperti Cinere, Pesona Kayahngan dan berbagai perumahan lainnya, diikuti berdirinya Kampus UI dan beberapa kampus swasta lainnya, menimbulkan satu pertanyaan apakah Depok menjadi kota mandiri (sekalipun suburban) atau menjadi kota yang praktis menjadi "pelayan" kebutuhan Jakarta?  

Pendeknya menjadi Depok itu  kota dormitory (asrama, warganya kebanyakan hanya menumpang tidur) atau bisa berdiri menjadi kota yang punya identitas.  Buku yang ditulis Tri Wahyuning M. Irsyam, Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an, diterbitkan Yayasan Obor, 2017 menjawab pertanyaan saya sejak duduk di bangku SMA. 

Dari judulnya saja bisa ditebak bagaimana jawaban sang penulis.

Tanah Partikelir ke Tanah Negara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun