Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

“Memetik Puncak Bintang” di Caringin Tilu

4 Agustus 2015   19:14 Diperbarui: 4 Agustus 2015   19:14 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Jam pada ponsel saya menunjuk pukul 8.30 pagi ketika kami tiba di gerbang Puncak Bintang, wisata alam yang setahun menjadi popular bagi warga Bandung, seperti halnya Tebing Kraton. Untuk mencapai lokasinya saya dan rekan saya Widya menumpang ojek dari pangkalannya di Padasuka dengan waktu tempuh antara 20-30 menit ke Caringin Tilu, Kabupaten Bandung. Mulanya menelusuri perkampungan, tetapi akhirnya perkebunan milik warga, hingga tiba di pangkalan ojek setempat, kemudian berjalan kaki sekitar 500 meter untuk ke gerbangnya.

Menurut Widya yang pernah ke tempat ini, dahulu waktu ia kuliah beberapa  tahun pernah singgah ketika itu hanya ada Bukit Moko. Hanya ada sebuah rumah makan menghadap panorama kota Bandung yang indah dinikmati malam hari. Namun rupanya sejak September 2014, Perhutani mengembangkan Hutan Bongkor seluas 12 ha dengan logo Bintang di salah satu spot sebagai wahana wisata baru. Untuk memasuki lokasi setiap pengunjung dipungut bayaran Rp10.000.

Dari gerbang loket saja kami disajikan panorama hutan pinus yang ciamik dengan jalan setapak yang tertata. Untuk menuju Puncak Bintang bisa melalui jalan batu menanjak yang didesain seperti tangga sekitar 100 meter. Kawasan ini benar-benar bersih dari sampah karena tempatnya tersedia di beberapa spot dan terdapat beberapa toilet yang bersih dan sebuah musholah dari kayu.

Menurut Asep Hidayat, 45 tahun, salah seorang karyawan Perhutani yang ditugaskan di sana, setiap Sabtu dan Minggu rata-rata datang 1500 pengunjung. Rata-rata pengunjung berusia muda, dari kalangan mahasiswa, walau pun yang membawa anak ada. Saya menaksir peminat wisata ini apa yang disebut praktisi travel Anton Thedy berusia 17-34 tahun, segmen muda yang gemar travelling. Saya menafsirkannya segmen ini memilih tempat-tempat yang semi adventure. Kawasan ini dibuka sejak subuh hingga pukul 9 malam. Ramainya sekitar pukul 14.00 hingga 18.00.

“Dinamakan Bongkor baru-baru ini saja.Awalnya namanya Bintus, sama dengan desanya yang memiliki 160 KK. Dari Hutan Bongkor ini terdapat jalur ke Patahan lembang. Dahulu ketika baru ditempatkan di sini saya pernah jalan kaki ke Lembang (untuk mencapai Patahan Lembang dibutuhkan waktu 45 menit),” ujar Asep.

Kawasan ini berada ketinggian antara 1400-1450 meter di atas permukaan laut. Tidak terlalu dingin saya rasakan, mungkin karena sedang musim kemarau. Saya dan Widya memutuskan menjelajahi jalan setapak sampai kira-kira 500 meter untuk mengambil spot memotret hingga papan informasi tentang Situs Batu Lonceng di kawasan lembang yang berhubungan dengan Sejarah Kerajaan Padjadjaran. Tetapi kemudian kami memilih kembali ke Puncak Bintang melalui jalur hutan pinus dan melihat panorama Bandung.

Rasanya lagu karya AT Mahmud tahun 1970-an berjudul Pemandangan direvisi: Memandang Alam dari Atas Bukit/ Sejauh pandang kulepaskan/ Gedung-gedung kota tampak terhampar/ Nyaris tak ada yang hijau/ bagaikan permadani abu-abu/. Agak miris sebetulnya. Untungnya Bandung dan sekitarnya masih punya 'paru-paru" alias hutan seperti Dago Pakar, Jayagiri,sasak Bereum dan kawasan Caringin Tilu ini. Lebih lumayan dibandingkan Jakarta, misalnya. Kalau saja ada mesin waktu ke zaman purba, kami akan melihat danau purba biru yang begitu luas di bawah.

“ Coba kalau di bawah masih danau tentunya sangat menakjubkan. Bikin penasaran seperti apa danau Bandung dulu. Tetapi hutan dulu masih ada binatang buas,” gumam saya.
“ Bagi saya Puncak Bintang ini adem banget dan romantis,” cetus Widya.

[caption caption="Selonjor diHutan Bongkor"]

[/caption]

Setelah puas menikmati panorama kota, kami berpindah ke sisi lain bukit yang tak kalah indahnya. Saya dan Widya menelusuri jalan setapak dengan beberapa pohon pisang di kedua sisi. Di belahan bukit lain terdapat sebuah saung dengan tempat untuk charge baterai. Sayang tidak berfungsi ketika Widya mencoba. Lalu kami memasuki hutan di mana tanahnya tertutup daun pinus yang kering karena rontok di musim kemarau seperti hamparan jerami.
“Harusnya juga ada jalan trek seperti di sisi yang ada Bintang. Kalau ada akan lebih bagus,” tambahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun