Sepertinya masa pensiun tak sekadar mempersiapkan dana pensiun sejak dini, namun lebih kepada sebuah strategi yang membuat masa pensiun tetap sejahtera nanti.
Mereka yang saya kenal, kini tertatih dalam perekonomian yang semakin menekan. Mamang Cireng, begitu anak-anak mengenalnya. Beberapa tahun lalu, mungkin kurang dari tiga tahun, kami sering bertemu di pagi maupun sore hari.
Beliau berkeliling dengan gerobak portabel yang selalu menempel di jok motornya, lengkap dengan segala peralatan penyaji cireng. Mencari kerumunan anak-anak, biasanya di sekitar sekolah-sekolah saat jam belajar mereka belum usai.
Padahal, seharusnya untuk orang seusianya, waktu itu sudah dihabiskan dengan tenang di rumah, menikmati masa tua bersama keluarga, istri, anak, dan cucu. Namun sayangnya, beliau justru masih harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ada juga Mbah Solar, bukan Mat Solar, ya. Di masa senjanya, beliau harus mengantarkan bahan bakar minyak (BBM) eceran ke warung-warung dengan angkot bututnya, demi memenuhi kebutuhan hidup.
Caranya pun, saya pikir, agak abu-abu secara legal. Beliau mengantre BBM dengan angkot yang meninggalkan jelaga hitam di mana pun lewat. Meski langkahnya sudah tak seimbang karena kesehatan menurun, kemudi angkotnya masih gesit seperti sopir muda yang penuh tenaga.
Terkadang, kami para tetangga merasa khawatir. Tua, tak seimbang, tapi masih mengemudikan kendaraan. Bukankah itu berisiko? Namun akhirnya, semua hanya bisa memaklumi. Dalam kondisi menua, sendirian, tanpa rumah sendiri, dan terlilit utang ke sana-sini. Sungguh pilu.
Namun sesungguhnya, mereka bukan orang sembarangan dulu. Mamang Cireng dan Mbah Solar adalah mantan pegawai negeri sipil. Mamang Cireng bertugas sebagai PNS di luar kota sebelum pensiun.
Mbah Solar pun demikian. Sosoknya masih lekat dalam ingatan saya. Ia adalah ketua rukun tetangga saat ayah saya menjadi Bayan, sebuah jabatan yang kini sudah punah.
Ada satu benang merah yang menghubungkan keduanya, nasib yang sama, keduanya adalah pensiunan.