Mohon tunggu...
Jun Joe Winanto
Jun Joe Winanto Mohon Tunggu... Koki - Chef

Menulis sebagai rangsangan untuk sel-sel otak agar terus berbiak. La Cheo Joe, banyak menulis buku, tetapi tidak untuk diterbitkan secara komersial. Buku-buku tersebut diperuntukkan untuk proyek Departemen Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Lebih dari 100-an judul buku telah ditulisnya. Lahir pada 9 Juni di “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Cita-citanya berbelok seratus delapan puluh derajat dari yang diidam-idamkan menjadi Dokter Kandungan. Kuliah pun sebenarnya tak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena sesuatu dan lain hal. Cerita berkata lain, diam-diam Sang Guru Bimbingan Karier (BK) SMA-nya memberikan berkas lembaran sebagai Mahasiswa Undangan ke Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. La Cheo Joe sempat merenungi keputusan saat jari-jemarinya menjentikkan pulpen mengisi titik-titik bernama. Perjalanan kariernya di beberapa perusahaan, mengantarkannya untuk berkeliling daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. La Cheo Joe sebagai penyuka olahraga selam, masak,icip-icip makanan, traveling, dan naik gunung ini, bercita-cita punya “tempat makan” sendiri dan ingin segera merampungkan salah satu bukunya yang sempat tertunda lama. Untuk mengenal lebih jauh dengannya, dapat dihubungi via email: junjoe.gen@gmail.com atau di nomor telepon 0857 1586 5945.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ada Apa dengan Daendels dan Diponegoro?

9 Oktober 2019   22:53 Diperbarui: 9 Oktober 2019   22:56 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Eiih, ternyata telinga dan mata saya kembali dibukakan oleh seseorang yang boleh dibilang berpengalaman di dunia tulis menulis. Mengorek berita hingga ke pelosok Indonesia. Mencari kebenaran di antara kebenaran lainnya. Benar adanya, bahwa sekali orang mengingat nama, nama itu akan  dikenang selamanya. Jalan pun begitu.

Lhaa... apa hubungannya nama dan jalan? Ooohh, tentu ada. Ini menyangkut jalan yang dibangun oleh Daendels. Namun, jalan yang mana dan Daendels yang mana? Karena Daendels di sini dua orang yang berbeda. Berbeda dari posisi/jabatan, juga berbeda waktu kedatangan dan tempat. Penasaran, kan dengan Daendels dan jalan.

Ya, mungkin sebagian kita kenal bahwa Daendels-lah yang membangun jalan dari Anyer-Panarukan, yang dikenal masyarakat kini dengan nama jalur Pantura. Nah, sebelum jalur Pantura ini dikenal, namanya dahulu bukanlah jalur, namun lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg.

Jalan inilah yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Kolonial Belanda, Herman Willem Daendels, yang dikenal luas oleh masyarakat kini dengan jalan Daendels. Namun, masyarakat mungkin kenalnya hanya jalan Daendels yang di jalur Pantura saja, dari ujung paling barat hingga timur pulau Jawa. Sesungguhnyalah, jika kita telisik lebih jauh, ada satu lagi jalan Daendels yang tidak begitu banyak diketahui dan tidak sepopuler jalur Pantura, yaitu yang ada di pantai Selatan.

Nah, ini yang dipikir orang-orang bahwa kedua jalan itu dibangun oleh orang yang sama, Daendels, padahal tidak sama sekali. Menurut catatan sejarah, bahwa jalan Daendels yang berada di pantai Utara benar adanya dibangun oleh Daendels sebagai GubJen Hindia Belanda (1808-1811). Sedangkan jalan Daendels yang ada di pantai Selatan yang panjangnya 130 km antara Cilacap-Bantul, Yogyakarta dibangun oleh AD Daendels pada 1838 yang disebut Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama dan nama AD Daendels pun tanpa nama panjang.

Ini yang sekiranya kita mesti tahu (mohon maaf, saya bukan ahli sejarah, tetapi ini menggelitik). Kedua orang tersebut sungguh berbeda. Mereka pun hidup di zaman/masa yang berbeda juga.

 Dari sisi jabatan, HW Daendels sebagai petinggi daerah kolonial Hindia Belanda. Sementara itu, AD Daendels hanya asisten residen di beberapa kabupaten di pulau Jawa.

Berdasarkan cerita yang terjadi, kolonial Hindia Belanda sudah menyematkan nama di masing-masing jalur Jawa itu. Di pantai Utara diberi nama Postwegen atau Jalan Raya Pos dan di pantai Selatan seperti tersebut.

Jadi, jangan salah Daendels yang membangun jalan di pantai Selatan Jawa bukan Daendels sebagaimana yang dimaksud. Apa sih peran A.D. Daendels ini dalam perkembangan jalan yang ada di pantai Selatan Jawa?  Kenapa Jalan Daendels justru melekat erat  sementara kita punya banyak orang-orang berjasa yang namanya dapat diabadikan untuk ruas jalan?

A.D. Daendels punya jabatan sebagai asisten residen. Nah,saat dia menjabat, salah satu daerah yang bernama Ambal ada dalam naungan administratif Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelan ini membawahi beberapa daerah yang ada di Purworejo juga Kebumen.

Namun, oleh kolonial karesidenan itu ditiadakan sejak 1 Agustus 1901. Menurut Susanto Zudi: Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa Tengah, 1830-1940, 1991: 6,  Justru digabungakan dengan karesidenan Kedu. 

A.D. Daendels sebagai pembantu Residen Bagelen yang bertugas membawahi wilayah Ambal, dikatakan oleh Jacobus Anne van der Chijs, 1903: 357 dalam Geschiedenis van de Gouvernments Thee-Cultuur op Java menyebutkan, A.D. Daendels ini sebagai Adsistent-resident van Ambal.  Oya, ternyata bukan Ambal saja di bawah Karesidenan Bagelen, masih ada Kebumen, Ledok, dan Kutoarjo.


Kembali pada peran A.D. Daendels lagi terhadap pembangunan jalan di Pantai Selatan, apakah sama dengan H.W. Daendels. Nah, ternyata beberapa sumber menyatakan ada besar kemungkinan tidak. Sesuai namanya di Pantai Selatan Jawa yang diberi nama Jalan Daendels hanya karena jalurnya melewati area Ambal yang ketika itu di bawah kepemimpinan A.D. Daendels.

Kalau kita pikir-pikir, ternyata jalan di Pantai Selatan ternyata sudah ada dan sudah berlangsung sebelum orang Belanda datang di daerah tersebut. Jadi, pertanyaannya adalah, catatan sejarah mengatakan bahwa sebelum nama jalan itu jalan Daendels ternyata dulunya bernama Jalan Diponegoro.

Pangeran Diponegoro dan pasukannnya melakukan perang gerilya di jalan tersebut (Karesidenan Bagelen perang melawan Belanda, 1825-1830, seperti yang dituliskan Saleh As'ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro, 2004 halaman 173). 

Nah, pertanyaan yang menggelayuti saya, lha kenapa dulu jalan Diponegoro kok diganti dengan Jalan Daendels? Kenapa? Apakah hanya karena A.D. Daendels pernah jadi asisten Karesidenan? Atau menghargai dirinya sebagai orang asing yang pernah punya jabatan di Hindia Belanda? Atau....?

Disayangkan, kenapa justru Daendels yang bukan orang Indonesia justru namanya melekat begitu erat menjadi nama sebuah jalan. Sementara, jelas-jelas pahlawan Indonesia yang notabenenya pahlawan dan tak suka cara-cara penjajah menguasai Indonesia justru tak terpakai.

Ada apa di balik nama jalan Daendels yang ternyata dulunya bernama Jalan Diponegoro?

Jalur selatan sebagai jalan ketika Pangeran Diponegoro bertempur melawan Belanda yang sudah sangat familiar. Namun, setelah perang Jawa kelar, jalur itu malah dikenal sebagai jalur Daendels karena kehadiran A.D. Daendels dibandingkan jalur Diponegoro. Nah, orang-orang masih salah saja mengira bahwa Daendels yang dimaksud tersebut.

Kenapa nama Diponegoro tidak dipertahankan? Menurut saya sih bukan alasan karena banyaknya nama Jalan Diponegoro. Jalan jalur Deandels sendiri adalah Jalan Diponegoro yang luruh karena Daendels. Tak bisakah dikembalikan lagi seperti semula untuk tetap mengenang perjuangan Diponegoro sebagai jalan yang layak kita miliki, bukan orang asing? Diolah dari berbagai sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun