Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

'Sapu dan Kain Pabasa' Hadiah dari Ibu

31 Desember 2017   21:41 Diperbarui: 2 Januari 2018   19:04 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Nyata dari 'Tana Samawa' Nusa Tenggara Barat

Bagaikan cerita 'Malin Kundang' di Sumatra Barat, kisah nyata ini saya mulai untuk mengenang ketulusan dan kasih sayang seorang ibu yang tidak bertepi, tidak lekang dimakan zaman dan tidak hilang ditelan waktu. Walau dalam versi lain dari si Malin Kundang, saya merantau dengan tujuan terencana, terukur dan didukung oleh kesempatan emas berupa beasiswa prestasi.

Dari sebuah kampung kecil di Sumbawa Nusa Tenggara Barat, tepatnya  dari Desa Lopok, Kec. Lopok, Kabupaten Sumbawa saya mulai kisah ini. Terlahir sebagai putra ketiga dari delapan bersaudara dari keluarga miskin namun bersahaja. Bapak buta huruf dan ibu tamatan kelas tiga sekolah rakyat. Kami hidup serba kekurangan jika dilihat dari sisi manapun jika ukurannya standar kelayakan umum. Namun kondisi tersebut tidak menghalangi kami delapan bersaudara untuk mengenyam pendidikan baik formal maupun non formal.

Hidup secara nomaden bersiklus tahunan dengan durasi sepertiga waktu di ladang, sepertiga waktu di sawah dan seprtiganya lagi di kampung, memperkaya pengalaman masa kecil kami yang dididik keras dan bertanggung jawab. Kelangkaan tenaga kerja, luasnya lahan garapan, banyaknya hewan ternak peliharaan,  minimnya akses teknologi olahan pangan membuat otot kami tumbuh dewasa dibawah umur. Eksploitasi anak? tidak populer di daerah kami. Meski pendidikan formal urutan nomor kesekian bagi orang tua saya, tapi yang namanya mengaji di rumah 'dea guru' (ustadz atau Kyai istilah didaerah lain) wajib hukumnya. Dispensasi kami peroleh kalau periode kehidupan berdomisili diladang namun orang tua tetap membekali kami dengan Al Qur'an, mengaji setiap malam walau dengan penerangan lampu jarak.

Singkat cerita, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas saya lalui dengan prestasi diatas rata-rata. Saya tidak pernah mendapati ranking tiga di kelas dari sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Prestasi saya di sekolah menghantarkan saya menjadi Ketua POPSI (Pendidikan Olah Raga Pelajar Indonesia) tingkat Sekolah Dasar, Ketua OSIS (Oraganisasi Siswa Intra Sekolah) di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Pengalaman organisasi saya di Sekolah Menengah Atas merangkap sebagai ketua IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) Kabupaten  Sumbawa.  

Bermodalkan perestasi akademik dan non akademik, kembali pada judul tulisan diatas, tanggal 27 April 1985 saya lulus dari Sekolah Menengah Atas, 31 Juli 1985 saya meninggalkan kampung halaman  diantar satu truk keluarga dan kerabat ke pelabuhan penyebrangan, naik kapal kayu menuju kota Mataram  di Pulau Lombok yang baru pertama kali saya kunjungi. Di Mataram selama tiga hari, mengurusi kelengkapan beasiswa di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB, tanggal 3 Agustus sore hari start dengan bus langsung Mataram-Yogyakarta via kapal Feri penyebrangan; lembar - padang bae,  ketapang - banyuwangi. Saya sampai Yogyakarta tanggal 5 Agustus dan setelah beristirahat dua hari di Pimpinan Pusat Muhammadiyah  kami secara bersama-sama utusan dari seluruh Indonesia diantar menuju kota Solo tempat bermukim sebagai kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diwajibkan mengikuti double paket pengkaderan, system pondok pesantren di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran dan paket akademik di Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Ilmu Agama Islam.

Dengan sebuah koper usang dan ransel bekas tentara rombongan bergerak jam 00.30 WITA dari rumah. Saat sudah diatas truk, ibu bergegas naik dan memasukkan HadiahDariIbu  kedalam ransel punggung saya sambil membisikkan sesuatu dalam keheningan malam; " Nak, ibu tidak bisa memberikan apa-apa sebagai bekal hidupmu, ibu titip dua oleh-oleh sebagai HadiahDariIbu cendera mata yang tidak boleh hilang sampai kamu sukses". Dengan linangan air mata dan belaian kasih sayang beliau melepas kepergian anaknya. Dengan alasan tidak sampai hati ibu tidak ikut menghantar saya ke pelabuhan. Kami berpelukan sangat erat sekali, pelukan tulus sang ibu  yang sampai diusia saya  52 tahun saat ini masih terasa hangat dan tak tergantikan.

Sampai di kota Mataram sore hari, HadiahDariIbu dengan perasaan tidak sabar dan rasa ingin tahu yang mendalam saya membuka HadiahDariIbu  yang diselipkan ibu tadi malam, isinya ternyata " SAPU dan KAIN PABASA " (Ikat kepala laki-laki  dan kain syal, sejenis selendang kecil yang digantungkan dileher) prodak tenun sesek (istilah Sumbawa utuk tenun ikat tradisional ). Saat itu saya belum mengerti arti simbolis atas  pemaknaan dari HadiahDariIbu, baru beberapa bulan setelah sampai di kota Solo saya mencoba membuka literature budaya 'tanah samawa', istilah asli untuk suku Sumbawa, saya temukan makna yang tersirat dari Sapu; melambangkan identitas 'tau samawa' (lelaki  suku samawa), kehormatan, martabat dan  harga diri, rela mati demi membela kebenaran dan identitas etnik Sumbawa  yang disebut dengan ' tau samawa'yang tidak boleh  lupa kacang akan kulitnya. Sedangkan Kain Pabasa;melambangkan  perlindungan, kasih sayang,  dan keharmonisan ikatan kekeluargaan yang tidak boleh terputus sepanjang masa kapan dan dimanapun berada,  Kain pabasa dalam keseharian bisa juga digunakan sebagai  stagen (jawa) yang diikatkan dipinggang pada saat bekerja keras dengaan filosofi  sebagai motivasi untuk lebih kuat dan lebih sokses mengejar cita-cita hidup  dan pantang menyerah.

Sungguh luar biasa HadiahDariIbu   tercinta, beliau sekarang masih hidup, sehat wal afyat, walau memiliki keterbatasan pada pendengarannya. Doa anakmu selalu terucap dengan takzim sehabis sholat lima waktu, pelajaran berharga yang ibu amanati terwarisi kepada lima putra putri (cucumu tersayang). HadiahDariIbu   masih terbinkai rapi dilemari kenangan khusus kami sekeluarga, setiap bepergian kemanapun saya selalu merabanya HadiahDariIbu  sambil berharap doa ibu serta  filosofi wasiatnya  tetap menyertai keberkahan dan kesuksesan hidup saya.

Walau berjauhan, saya dan keluarga di Jepara jawa Tengah,  ibu dan bapak serta keluarga lainnya di Sumbwa, komunikasi tetap terjalin, bakti anakmu tak akan mampu membayar pengorbanan, ketulusan dan jasa-jasamu ibu. Tetaplah sehat ibuku, doamu menembus langin ketujuh, ridhomu adalah masa depan anak-anakmu, Dalam darah kami mengalir sukmamu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun