Mohon tunggu...
Junaedi
Junaedi Mohon Tunggu... Lainnya - Pencangkul dan Penikmat Kopi

Lahir dan tumbuh di Wonosalam, kawasan pertanian-perkebunan dataran tinggi di Jombang bagian selatan. Seorang pencangkul dan penikmat kopi. Dapat ditemui di www.pencangkul.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Jombang, Masjid dan Gereja pun Satu Tembok!

19 September 2010   09:07 Diperbarui: 16 Mei 2023   07:44 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid dan Gereja Berdampingan. (Dok. Pribadi)

SAYA tak habis pikir, apa yang menyebabkan “konflik” di Ciketing , Bekasi hingga menimbulkan peristiwa berdarah-darah. Saya tak ingin berdebat siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang memancing di air keruh, atau bahkan siapa yang membuat air itu menjadi keruh. Tetapi sungguh saya semakin terheran-heran, beragama kok pakai berantem sampai berdarah-darah, apapun motivasinya. Apalagi ini di Bekasi yang notabene dekat dengan Jakarta yang dianggap pusat "modernitas", pusat "peradaban" Indonesia. Saya ingin menunjukkan kampung kelahiran saya, Jombang bagian selatan.

Walaupun Jombang dikenal sebagai kota santri, kota dengan ratusan pesantren, dengan 4 pesantren besar yang “memagari” kota. Di timur ada pesantren Darul ‘Ulum, di selatan ada pesantren Tebuireng, di sebelah barat ada pesantren Denanyar, dan di sebelah utara ada pesantren Bahrul ‘Ulum. Namun, di kota ini umat agama selain Islam (Kristen, Hindu, Konghucu, Budha) tetap bisa berkembang dan hidup berdampingan secara akur. Belum pernah seumur-umur saya mendengar ada konflik yang berdimensi atau menyangkut isu-isu keagamaan. 

Di Jombang, terutama Jombang bagian selatan yang meliputi kecamatan Mojowarno, Ngoro, Bareng dan Wonosalam, tiga agama bisa berkembang secara signifikan tanpa ada gesekan dan benturan, yaitu Islam, Kristen (Protestan) dan Hindu. Bahkan di Desa Mojowangi Kecamatan Mojowarno jumlah pemeluk Islam dan Kristen jumlahnya hampir seimbang. Bangunan masjid dan gereja pun jaraknya tak terlalu jauh. Beberapa puluh meter di sebelah selatan gereja tua Mojowarno dan merupakan gereja bersejarah di Jombang, berdiri dengan kokoh bangunan masjid. Sementara itu di Bongsorejo [sebelah timur Tebuireng, Cukir, Diwek] bangunan masjid dan gereja juga saling berdekatan. Begitu juga di Kertorejo, Kecamatan Ngoro. Bahkan di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, bangunan pura, masjid dan gereja hampir berdekatan. Kehidupan masyarakat Ngepeh pun tetap harmonis, bahkan menarik perhatian seorang wartawan Kompas, Ingki Rinaldi, yang kemudian mengangkatnya ke dalam tulisan. Silahkan baca tulisannya Ingki Rinaldi ini “Kebersamaan Beragama di Dusun Ngepeh”.

Bahkan yang lebih “ekstrim”, di Dusun Mutersari, ada bangunan masjid dan gereja yang temboknya menjadi satu. Tempat ibadah yang terletak di pinggir Jalan Raya Mojoagung-Wonosalam ini hanya tersekat oleh tembok masjid yang sekaligus menjadi pembatas dengan halaman gereja, sementara halaman masjid tersekat oleh tembok yang menjadi dinding gereja. Beberapa hari yang lalu saya sempat lewat di depan tempat ibadah itu. Di depan gereja masih tampak spanduk ucapan Idul Fitri dari saudara-saudara kita dari Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan di Dusun Mutersari.

Sungguh menyaksikan pemandangan di Jombang selatan ini, ada kesejukan tersendiri di tengah “bara” kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Kehidupan beragama yang seharusnya penuh kejujuran dan tak ada dusta di antara para pemeluknya, kini mulai "terkoyak". Akankah "bara" kehidupan beragama kita semakin membara? Saya tak berharap demikian!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun