Pernahkah Anda membayangkan bagaimana budaya Jawa dan Tionghoa berpadu dalam satu perayaan yang meriah, penuh warna, dan sarat makna? Temukan jawabannya di artikel ini.
Di tengah keragaman budaya Kota Solo, lahir sebuah tradisi unik yang telah lama menjadi simbol kerukunan, yaitu Grebeg Sudiro. Tradisi yang rutin diselenggarakan setiap tahun menjelang Hari Raya Imlek ini merupakan bukti nyata bagaimana dua etnis berbeda, Jawa dan Tionghoa, dapat hidup berdampingan, saling memengaruhi, hingga melahirkan sebuah budaya baru yang penuh daya tarik. Berasal dari kata "Grebeg" yang berarti perkumpulan dan "Sudiro" yang merujuk pada nama kampung tempat tradisi ini berasal, Sudiroprajan.
Sejarah singkat Grebeg Sudiro
Cikal bakal Grebeg Sudiro dapat ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) melalui sebuah ritual bernama Buk Teko. Nama unik ini berawal dari kisah jatuhnya tutup teko milik Raja di sekitar jembatan Sudiroprajan. Ritual Buk Teko yang menjadi fondasi Grebeg Sudiro ini merupakan arak-arakan gunungan hasil bumi dengan penerangan ribuan lampion, menjadi penanda awal perayaan Imlek yang meriah dan penuh makna.
Wujud akulturasi paling nyata dalam Grebeg Sudiro terlihat pada kirab budayanya yang spektakuler. Dalam kirab ini, simbol-simbol budaya Jawa dan Tionghoa melebur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Gunungan yang berisi hasil bumi dan kue keranjang khas Imlek diarak bersama dengan pertunjukan barongsai dan liong yang energik. Peserta kirab mengenakan pakaian dari kedua budaya, berpadu dengan hiasan lampion khas Tionghoa yang menciptakan nuansa oriental di tengah alunan musik cokekan yang merupakan tradisi lokal Kampung Sudiroprajan. Perpaduan ini bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah dialog budaya yang elok.
Lebih dari sekadar perayaan, Grebeg Sudiro sarat akan makna kebersamaan dan rasa syukur. Gunungan, yang dalam tradisi Jawa merupakan simbol kemakmuran dan rasa syukur kepada Tuhan, diisi pula dengan kue keranjang yang melambangkan harapan akan kemakmuran di tahun yang baru bagi etnis Tionghoa. Puncak acara di mana isi gunungan dibagikan kepada seluruh masyarakat yang hadir menjadi simbol berbagi berkah dan rezeki tanpa memandang latar belakang etnis. Tradisi ini juga menjadi bentuk "sedekah bumi" dari para pedagang dan warga sebagai ungkapan terima kasih atas rezeki yang telah diterima.
Keistimewaan Grebeg Sudiro terletak pada akarnya yang berasal dari inisiatif bersama warga Sudiroprajan. Tradisi ini lahir dari keinginan masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa untuk bekerja sama, menunjukkan bahwa kerukunan bukanlah konsep abstrak, melainkan sesuatu yang dapat diwujudkan melalui kolaborasi nyata. Dengan demikian, Grebeg Sudiro bukan hanya sekadar festival, melainkan sebuah panggung harmoni yang memperkuat integrasi sosial dan melestarikan kekayaan tradisi. Ia menjadi bukti hidup bahwa perbedaan dapat menjadi kekuatan pemersatu, menghapus sekat-sekat kelam masa lalu, dan merajut masa depan yang lebih toleran di Kota Solo.
sumber :
https://indonesia.go.id/galeri/foto/detail/3832
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI