Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Sugar Coating" demi Jabatan: Strategi Cerdas, Seni Basa Basi, atau Jalan Pintas Sang Penjilat?

3 Oktober 2025   07:08 Diperbarui: 3 Oktober 2025   07:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Sugar coating demi jabatan: strategi cerdas, seni basa basi, atau jalan pintas sang penjilat? | Image by Freepik/pressfoto

Fenomena Universal dan Sifat Dasar Sugar Coating

Fenomena Sugar Coating atau melapisi realitas pahit dengan kata-kata manis adalah hal yang tidak asing dalam kehidupan profesional. Ini bukan sekadar basa-basi atau keramahan biasa; ini adalah tindakan sadar untuk menyajikan informasi, kritik, atau bahkan kinerja diri sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi sangat menyenangkan dan mudah diterima, terutama oleh atasan atau pemegang kekuasaan. Ini adalah pemanis buatan dalam komunikasi.

Berbicara soal sugar coating, saya lihat hampir di semua lini dan semua sudut ada orang-orang yang bertipikal seperti ini. Sifat ini tidak mengenal batasan sektor. Dari tingkat atas di pemerintahan tinggi sampai tingkat bawah ada, termasuk di dunia kerja swasta, dunia usaha, dan bahkan dunia pendidikan. Semua tempat yang melibatkan hierarki dan penilaian akan selalu memiliki potensi suburnya praktik ini.

Di lingkungan kerja swasta, praktik ini seringkali lebih halus. Misalnya, ketika sebuah proyek gagal mencapai target, seorang karyawan mungkin tidak akan mengatakan, "Kami gagal karena kurangnya perencanaan." Sebaliknya, dia akan mengatakan, "Kami menghadapi tantangan tak terduga, namun kami telah mengumpulkan insight berharga untuk iterasi berikutnya." Realitas kegagalan ditutup dengan optimisme dan jargon positif.

Sekalipun di dunia pendidikan, tidak sedikit atau ada saja orang yang pintar memainkan kata-kata manis untuk membalut kabar atau informasi yang sebenarnya tidak diharapkan. Seorang guru besar mungkin menyampaikan kritik pedas dengan memilih diksi yang begitu akademis dan formal sehingga inti kasarnya menjadi tersamarkan. Ini adalah cara untuk menjaga hubungan sekaligus menyampaikan pesan.

Dan kebiasaan sugar coating ini akan selalu ada. Selama ada keinginan untuk disukai, keinginan untuk maju, dan ketakutan akan konflik atau kegagalan, praktik ini akan terus menjadi senjata komunikasi. Ini adalah mekanisme pertahanan sosial sekaligus alat networking.

Saya lihat dan bisa mengamati para pejabat di pemerintahan, bila tampil di televisi, ada yang pandai berbahasa baik guna menutup soal yang dianggap kotor atau merugikan bagi atasan pejabat tersebut. Mereka adalah master dalam menggunakan eufemisme, istilah teknis, atau mengalihkan fokus dari masalah inti ke pencapaian minor lainnya.

Usaha sugar coating para pejabat itu terkadang bisa mengamankan posisi mereka, menaikkan posisi jabatan, tapi tak jarang juga justru menjadi bumerang dan bulan-bulanan petaka ketika kebenaran akhirnya terungkap. Ini menunjukkan bahwa meskipun efektif di awal, fondasi yang dibangun di atas kepalsuan manis seringkali tidak stabil.

Sugar Coating dalam intinya adalah manipulasi komunikasi. Tujuannya adalah memengaruhi persepsi. Ia mengambil alih kendali atas narasi, memastikan bahwa pihak yang berkuasa hanya mendengar versi yang menyenangkan dan menguntungkan bagi penyampai pesan. Ini membuat atasan nyaman, tetapi berpotensi memutusnya dari realitas lapangan yang sebenarnya.

Batas Tipis: Soft Skill, Strategi, atau Penjilatan?

Pengalaman saya saat dulu pernah bekerja di perusahaan penerbitan buku dan majalah menunjukkan bahwa sugar coating adalah pedang bermata dua. Di sana, ada saja orang yang bertipikal seperti ini. Mereka yang pandai memuji ide atasan secara berlebihan atau melaporkan masalah minor sebagai pencapaian besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun