Pagi itu, sebuah cerita sederhana dari seorang murid SD kelas 5 di Bandung, mengubah pandanganku tentang apa itu "gizi" dan "keamanan."Â
Di tengah hiruk pikuk berita keracunan makanan yang membanjiri media sosial dan televisi, pengalamannya terasa lebih nyata, lebih personal, dan lebih menakutkan.Â
Dia bukan hanya mendengar berita, dia menyaksikannya. Dengan mata kepala sendiri. Dan cerita itu, sayangnya, bukan sekadar cerita biasa.
Murid saya, sebut saja R, menceritakan pengalamannya dengan nada yang polos namun penuh ketakutan.Â
"Kemarin aku sama Ayah pergi ke perbatasan Bandung dan Subang," katanya, memulai kisahnya. "Katanya sih, daerahnya Kabupaten Bandung Barat."Â
Lalu, dia berhenti sejenak, wajahnya berubah serius. "Di jalan, kami lihat ada iring-iringan mobil ambulans, banyak banget."
Saya bertanya, "Banyaknya seberapa?" R menjawab, "Ada enam mobil, Pak. Semuanya nyalain sirine, kencang banget." Cerita R langsung mengingatkan saya pada masa-masa pandemi COVID-19.Â
Sirine ambulans yang beriringan, suara yang memecah kesunyian, selalu membawa kabar buruk. Kini, suara itu kembali, namun kali ini bukan karena virus, melainkan karena makanan.
Ayah R yang melihat pemandangan itu, menjelaskan bahwa mobil-mobil tersebut mengangkut siswa-siswa sekolah.Â
Mereka semua adalah korban cerita mbg, atau makanan bergizi gratis, yang seharusnya memberikan manfaat, justru membawa petaka.Â
Anak-anak itu keracunan, lalu dilarikan ke rumah sakit. Bagi R, pemandangan itu terasa sangat mengerikan. "Seram, Pak, kayak waktu COVID," katanya dengan nada bergetar.