Sebuah Perjalanan yang Tak Terduga
Di usia yang tidak lagi muda, banyak dari kita mungkin sudah merasa nyaman dengan pekerjaan yang dijalani. Stabilitas menjadi kata kunci. Rutinitas yang sudah terbiasa, gaji yang mapan, dan jalur karier yang tampak jelas di depan mata.Â
Namun, apa yang terjadi jika semua kenyamanan itu tiba-tiba harus berubah? Ini bukan tentang mencari pekerjaan baru, melainkan tentang rotasi jabatan yang menuntut kami, para pegawai di Yayasan Al Ghifari Kota Bandung, untuk keluar dari zona nyaman.Â
Saya sendiri, yang sudah mengabdi selama 28 tahun, mengalami hal ini di usia 40-an. Pengalaman ini mengajarkan kami banyak hal tentang adaptasi, tanggung jawab, dan makna sejati dari sebuah pengabdian.
Pilihan untuk pindah karir, meskipun bukan atas inisiatif pribadi, adalah sebuah lompatan besar. Saya dan ratusan rekan lainnya, yang berusia antara 30 hingga 45 tahun, terlibat dalam proses seleksi jabatan yang diadakan oleh yayasan pada tahun 2019.Â
Tujuannya adalah untuk mengisi posisi-posisi penting, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Proses ini dikenal sebagai open bidding atau penjaringan jabatan.Â
Ini adalah momen krusial yang menguji kesiapan mental dan profesional kami. Kami mengikuti serangkaian tes, mulai dari tes tertulis, wawancara, hingga praktik.Â
Kami tahu, hasil dari seleksi ini akan menentukan arah karier kami di masa depan. Tidak ada yang bisa menebak, apakah kami akan tetap berada di jalur yang sama atau justru sebaliknya.
Pergeseran Jabatan, dari Birokrasi ke Edukasi dan Sebaliknya
Dalam proses seleksi tersebut, yayasan menggunakan dua istilah kualifikasi jabatan: Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dan Jabatan Pimpinan Administrasi (JPA).Â
JPT umumnya merujuk pada posisi-posisi strategis yang berhubungan langsung dengan kepemimpinan dan edukasi, seperti direktur, rektor, dekan, hingga kepala sekolah. Sementara itu, JPA lebih kepada posisi yang bersifat administratif atau manajerial, seperti kepala bagian atau kepala biro.