Jejak Awal Menuju Profesi Guru Penjas
Hidup adalah pilihan, dan pilihan itu seringkali datang dengan segudang tantangan. Bagi putra kami, mahasiswa semester 7 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Sumedang, pilihan itu sudah jelas yaitu menjadi guru Pendidikan Jasmani (Penjas) Sekolah Dasar.Â
Bukan pilihan yang mudah, mengingat ia adalah anak sulung yang kami harapkan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Kami tinggal di Bandung, sementara ia harus menjalani perkuliahan di Sumedang. Jarak itu bukan hanya soal kilometer, tetapi juga tentang kemandirian dan tanggung jawab yang harus ia pikul sendiri.
Saat ini, ia berada di titik krusial dalam perjalanan akademisnya yaitu tugas akhir dan persiapan magang. Magang ini bukan sekadar syarat kelulusan, melainkan jembatan pertama yang menghubungkannya dengan dunia kerja nyata.Â
Tentu saja, ini memunculkan kecemasan. Mencari sekolah magang yang ideal di Kabupaten Sumedang dari jauh bukanlah hal yang gampang. Ia harus mempertimbangkan lokasi, fasilitas sekolah, hingga kesiapan mentor yang akan membimbingnya.
Di tengah semua itu, kami melihatnya berjuang. Terkadang ia terlihat murung, khawatir tidak mendapatkan tempat magang yang sesuai atau tidak mampu mengajar dengan baik.Â
Sebagai orang tua, kami hanya bisa memberikan dukungan moral dan sesekali bertanya, "Sudah dapat sekolahnya, Nak?" Pertanyaan sederhana itu seringkali kami berikan untuk menyemangati, tetapi kadang juga memicu kegalauan di benaknya. Ia merasa tekanan itu semakin berat.
Kami tahu, kegalauan ini adalah bagian dari proses pendewasaan. Ia tidak hanya belajar menjadi guru, tetapi juga belajar mengelola emosi dan menghadapi ketidakpastian. Ini adalah momen di mana ia harus memutuskan, apakah ia akan menyerah pada kecemasan atau berani menghadapi tantangan ini dengan kepala tegak. Kami percaya, ia bisa.
Memahami Makna Stoikisme dan Tawakal dalam Kegalauan
Kami melihat perjuangan anak kami dan teringat akan dua konsep filosofis yang mungkin bisa membantunya yakni Stoikisme dan Tawakal. Keduanya mengajarkan hal yang serupa, yaitu penerimaan dan ketenangan. Namun, ada perbedaan mendasar dalam sumber kekuatan yang mereka ajarkan.
Stoikisme mengajarkan untuk fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Dalam konteks anak kami, ia tidak bisa mengendalikan apakah sebuah sekolah akan menerimanya magang atau tidak. Ia juga tidak bisa mengendalikan apakah fasilitas di sekolah tersebut lengkap atau tidak.Â