Ketika Kursi Prioritas Hanya Sekadar Pajangan
Di setiap sudut transportasi umum, kita bisa menemukan kursi-kursi dengan tanda khusus yaitu kursi prioritas. Kursi-kursi ini ditujukan untuk mereka yang paling membutuhkan, seperti ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, atau mereka yang membawa anak kecil.Â
Tanda-tanda ini bukan hanya hiasan, melainkan pengingat akan pentingnya etika di transportasi umum. Namun, sering kali, tanda-tanda itu terasa seperti pajangan belaka. Saya sering melihat kursi-kursi ini diduduki oleh orang-orang sehat dan bugar, yang asyik dengan gawainya, sementara orang yang berhak berdiri di depan mereka.
Pemandangan seperti ini sudah jadi hal yang biasa. Seorang lansia dengan langkah pelan-pelan masuk ke dalam bus, mencari pegangan. Di depannya, ada beberapa anak muda yang duduk nyaman di kursi prioritas. Mereka pura-pura tidak melihat atau sengaja memalingkan muka.Â
Saya yakin, mereka tidak buta. Mereka hanya memilih untuk abai. Sikap seperti ini adalah cerminan dari memudarnya rasa empati dan kepedulian. Mereka membayar ongkos, mendapatkan tempat duduk, dan merasa sudah selesai dengan kewajiban mereka. Padahal, ada tiket lain yang jauh lebih penting, yaitu tiket etika.
Saya juga pernah melihat seorang ibu hamil berdiri di dalam kereta atau bus yang penuh. Perutnya sudah sangat besar, dan dia terlihat lelah. Dia berdiri di dekat kursi prioritas, berharap ada yang sadar. Tapi, tidak ada yang beranjak.Â
Orang-orang di sekitarnya sibuk dengan ponsel atau tidur. Akhirnya, seorang penumpang lain di kursi biasa, yang mungkin juga lelah, menawarkan tempat duduknya. Momen itu membuat saya sedih dan bangga di saat yang sama. Sedih karena etika di kursi prioritas sudah luntur, tapi bangga karena masih ada orang yang peduli.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang etika masih sangat kurang. Banyak orang berpikir bahwa aturan adalah aturan, dan mereka hanya perlu mematuhinya jika ada sanksi. Mereka tidak menyadari bahwa etika adalah tentang kesadaran diri dan kepedulian terhadap sesama.Â
Budaya kursi prioritas seharusnya tidak perlu diatur. Seharusnya, itu adalah sebuah inisiatif dari hati, di mana kita secara sukarela memberikan tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan.
Saya yakin, kita semua pernah berada di posisi di mana kita merasa tidak nyaman melihat orang lain kesulitan. Namun, sering kali, kita membiarkan rasa itu hilang karena alasan-alasan sepele.Â
"Aku juga lelah," "Aku buru-buru," atau "Biarkan saja, nanti juga ada yang menawarkan." Pemikiran-pemikiran seperti ini membuat kita terjebak dalam lingkaran egoisme, di mana kita hanya peduli pada kenyamanan diri sendiri.