Program "kesehatan gratis" ini, yang terdengar sangat menarik, seringkali menciptakan jarak antara ekspektasi dan realita.Â
Ekspektasinya adalah siswa akan mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan tindak lanjut yang serius. Realitanya, hal itu belum tentu terjadi.Â
Program ini bisa menjadi sebuah "tambal sulam," datang untuk menambal lubang yang ada, tanpa membangun fondasi yang kokoh dari awal.
Salah satu kelemahan terbesar dari program ini adalah tindak lanjut yang lemah. Setelah pemeriksaan selesai, apa yang terjadi pada siswa yang terdeteksi memiliki masalah kesehatan?Â
Apakah ada sistem rujukan yang terstruktur dan pendampingan dari pihak sekolah atau puskesmas?Â
Tanpa tindak lanjut yang kuat, hasil pemeriksaan hanyalah data yang tersimpan, tanpa memberikan manfaat nyata bagi siswa yang membutuhkan. Ini adalah bagian yang paling krusial, namun seringkali terlewatkan.
Program ini juga memiliki potensi dampak psikologis. Ada siswa yang mungkin merasa takut, malu, atau cemas dengan hasil pemeriksaannya.Â
Apakah ada ruang yang aman bagi mereka untuk berkonsultasi? Atau apakah hasil pemeriksaan hanya akan menjadi rahasia yang disimpan oleh pihak sekolah dan puskesmas, tanpa ada dukungan yang memadai untuk siswa yang bersangkutan?Â
Kesehatan mental siswa juga penting, dan program ini seharusnya tidak hanya berfokus pada fisik semata.
Lebih dari itu, program ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa kesehatan adalah "hadiah" yang diberikan secara cuma-cuma, bukan hak dasar yang harus didapatkan oleh setiap anak.Â
Seharusnya, akses ke layanan kesehatan adalah hal yang standar, bukan sebuah program khusus yang dirayakan. Program ini, meskipun niatnya baik, bisa jadi adalah pengingat bahwa sistem kesehatan kita belum sempurna.