Bulan Agustus kembali tiba. Di tahun 2025 ini, Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan ke-80. Suasana meriah, bendera berkibar di mana-mana, dan berbagai lomba seru biasanya mengisi hari-hari menjelang 17 Agustus.Â
Namun, di balik kemeriahan itu, ada bayang-bayang yang kerap menghantui, terutama bagi kalangan tertentu yaitu pungutan liar alias pungli. Pungli bermodus sumbangan 17 Agustus ini bukan hal baru, dan sayangnya, masih sering terjadi.
Modus pungli ini biasanya menyasar pihak-pihak yang dianggap "mudah" dipalak, atau mereka yang posisinya lemah dan enggan berurusan panjang. Kurban utamanya seringkali adalah pedagang kecil, pemilik kios pinggir jalan, dan warga yang tinggal di kontrakan.Â
Mereka ini sering jadi sasaran empuk karena dianggap punya sedikit uang lebih, tapi di sisi lain, punya posisi tawar yang rendah. Akhirnya, banyak dari mereka yang terpaksa memberikan uang, meski tidak ikhlas, demi menghindari masalah.
Padahal, semangat kemerdekaan seharusnya tentang kebersamaan, gotong royong tanpa paksaan, dan merayakan kebebasan. Pungli justru merusak semangat itu.Â
Ini bukan lagi soal sumbangan tulus untuk memeriahkan acara, tapi sudah jadi praktik pemerasan yang merugikan rakyat kecil. Bagi mereka yang hidup pas-pasan, uang puluhan ribu rupiah saja sangat berarti. Jika harus keluar untuk sumbangan paksa, tentu memberatkan sekali.
Modus Operandi yang Bikin Was-Was
Pungli berkedok sumbangan 17 Agustus punya banyak cara. Modus yang paling umum adalah lewat proposal sumbangan yang diedarkan oleh oknum yang mengaku panitia.Â
Proposal ini seringkali mencantumkan angka nominal yang harus dibayarkan, bukan lagi sekadar sumbangan sukarela. Mereka bisa datang dengan membawa map berisi kop surat, stempel, dan daftar nama. Tujuannya agar terlihat resmi dan meyakinkan.
Tidak jarang, oknum ini datang berkelompok. Mereka mendatangi satu per satu kios atau rumah kontrakan. Dengan nada sedikit memaksa atau intimidasi terselubung, mereka menagih "sumbangan" tersebut.Â
Terkadang, mereka juga menyebutkan nama-nama tetangga atau pedagang lain yang sudah menyumbang, agar korbannya merasa tidak enak jika menolak. Ini adalah trik psikologis agar target merasa terpojok dan mau membayar.