Di bawah kaki gunung Mandalawangi, tepatnya di Desa Cisaat, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat, membentang hamparan hijau tanaman jagung. Usianya sekitar dua bulan, atau enam puluh hari. Tanaman jagung ini tampak sudah mulai berkembang, namun pertumbuhannya belum merata, menghadapi tantangan masa tanam yang bervariasi dan terjangan suhu kritis. Para petani di Cisaat, dengan Koko sebagai salah satu figur kunci, tak menyerah. Mereka berjuang keras memastikan mutu jagung hibrida tetap terjaga, mulai dari fase kecambah hingga panen tiba.
Koko, seorang petani lokal, pada hari Rabu (2/7/2025) berbagi ceritanya. Ia menjelaskan bagaimana dirinya dan rekan-rekan petani lain di Cisaat bahu-membahu menghadapi berbagai rintangan untuk menjaga kualitas jagung hibrida yang mereka tanam. Jagung hibrida adalah varietas unggul yang menjanjikan hasil panen melimpah, namun ia juga menuntut perawatan ekstra dan kepekaan terhadap kondisi lingkungan, terutama suhu.
Koko bukanlah petani kemarin sore. Ia telah menggeluti dunia pertanian jagung selama bertahun-tahun. Pengalamannya mengajarkan banyak hal, terutama tentang bagaimana alam bisa bersahabat atau sebaliknya, menjadi tantangan besar. Ia pernah merasakan panen raya yang melimpah, namun juga pernah menghadapi kegagalan akibat cuaca ekstrem atau serangan hama yang tak terduga. Dari semua pengalaman itu, Koko belajar bahwa kunci utama sukses budidaya jagung hibrida adalah adaptasi dan penguasaan terhadap kondisi iklim, terutama fluktuasi suhu.
Suhu, bagi para petani jagung di Cisaat, bukan sekadar angka di termometer. Ia adalah penentu nasib bibit, pemicu pertumbuhan, dan bahkan penentu kualitas biji jagung. Suhu yang terlalu panas bisa menghambat perkecambahan atau menyebabkan layu. Sebaliknya, suhu yang terlalu dingin bisa memperlambat pertumbuhan dan membuat tanaman rentan penyakit. Masa pertumbuhan jagung, terutama pada usia 60 hari seperti yang terlihat di Cisaat saat ini, adalah fase krusial di mana tanaman sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
Koko menjelaskan bahwa salah satu strategi utama mereka adalah pemilihan varietas jagung hibrida yang sesuai dengan karakteristik iklim Cisaat. Mereka tidak hanya memilih varietas yang dikenal menghasilkan banyak, tetapi juga yang memiliki ketahanan terhadap fluktuasi suhu ekstrem. Riset dan percobaan telah mereka lakukan selama bertahun-tahun untuk menemukan varietas terbaik yang bisa beradaptasi dengan kondisi tanah dan cuaca di kaki Gunung Mandalawangi.
Selain itu, manajemen air yang cermat menjadi sangat penting. Jagung membutuhkan air yang cukup, namun tidak berlebihan. Koko dan petani lain menggunakan sistem irigasi yang efisien, memastikan setiap tanaman mendapatkan pasokan air yang tepat sesuai kebutuhannya. Mereka juga sangat memperhatikan jadwal penyiraman, terutama saat suhu sedang tinggi atau rendah, untuk meminimalkan stres pada tanaman.
Pengaturan jarak tanam dan kepadatan populasi juga berperan dalam mengendalikan suhu mikro di lahan jagung. Dengan jarak tanam yang tepat, sirkulasi udara menjadi lebih baik, membantu mengurangi panas berlebih yang terperangkap di antara tanaman. Koko sering memantau kondisi ini secara langsung, menyesuaikan strategi tanamnya jika dirasa perlu.
Tak kalah penting, pemantauan hama dan penyakit secara rutin adalah bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga mutu jagung. Tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap tekanan suhu. Koko dan para petani lainnya sering berkeliling lahan, memeriksa setiap baris tanaman untuk mendeteksi tanda-tanda awal serangan hama atau penyakit. Penanganan yang cepat dan tepat adalah kunci untuk mencegah kerusakan yang lebih luas.
Koko juga menyoroti pentingnya penggunaan pupuk secara bijak. Nutrisi yang seimbang akan membuat tanaman lebih kuat dan mampu mengatasi tekanan lingkungan, termasuk suhu ekstrem. Mereka menggunakan pupuk organik dan anorganik sesuai dosis yang dianjurkan, menghindari penggunaan berlebihan yang justru bisa merusak tanaman.
Bagi Koko, bertani jagung bukan hanya sekadar menanam dan menunggu panen. Ia adalah ilmu, seni, dan perjuangan tiada henti. Ia melibatkan pengamatan mendalam terhadap alam, analisis data sederhana dari pengalaman, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang tak terduga. Para petani di Cisaat, seperti Koko, telah membuktikan bahwa dengan dedikasi dan pengetahuan, mereka bisa menguasai tantangan suhu dan memastikan jagung hibrida mereka tetap berkualitas.
Fenomena suhu kritis yang sering terjadi di Cisaat sebenarnya adalah cerminan dari perubahan iklim global yang kian terasa. Petani adalah garda terdepan yang paling merasakan dampaknya. Namun, alih-alih menyerah, mereka justru berinovasi dan menemukan cara-cara baru untuk bertahan dan bahkan unggul. Keberhasilan mereka di Cisaat adalah bukti nyata bahwa kemandirian pangan bisa dicapai melalui kearifan lokal yang dipadukan dengan penerapan teknologi sederhana.