Mohon tunggu...
Judith Chanutomo
Judith Chanutomo Mohon Tunggu... -

Manusia yang berusaha menyadari kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Lingkungan, Partisipasi, dan Kekuasaan

25 Mei 2015   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam tiga puluh tahun adanya kebijakan lingkungan, tampak bahwa lingkungan dan partisipasi adalah hal yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain (Leroy & Van Tatenhove, tanpa tahun). Namun begitu, makna yang diberikan pada kata “partisipasi” dan bagaimana partisipasi ini dibentuk telah mengalami perubahan substansial dari waktu ke waktu. Sebagai bagian dari pergerakan politik yang lebih radikal dan lebih luas, pergerakan lingkungan telah menekankan pentingnya partisipasi sejak tahun 1970-an melalui berbagai macam protes dan tekanan. Hal ini dilakukan dengan dua tujuan: (1) untuk memastikan bahwa aspek lingkungan telah diberi lebih banyak perhatian ketika mempertimbangkan berbagai kebijakan, serta; (2) untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah dalam hal lingkungan lebih mudah diakses dan diverifikasi oleh para warga negara serta pergerakan-pergerakan lingkungan. Beberapa aspek kemudian berdampak pada munculnya berbagai instrumen legal dan organisasional bagi partisipasi masyarakat.

Perubahan-perubahan radikal yang terjadi secara gradual dalam kebijakan-kebijakan lingkungan sejak pertengahan tahun 1980-an (Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Perubahan-perubahan ini terkait dengan peningkatan keterlibatan dari aktor-aktor selain pemerintah dalam formulasi dan implementasi kebijakan-kebijakan lingkungan. Pihak-pihak seperti pasar dan organisasi non-pemerintah sering kali diajak untuk menanggung bersama tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan lingkungan. Dalam konteks perubahan ini, partisipasi tidak lagi dimotivasi oleh gagasan ideal politik yang demokratis seperti yang marak dikumandangkan pada periode awal 1970-an. Dukungan dan penerimaan publik sering kali dijadikan argumen utama bagi pihak-pihak ini untuk melakukan berbagai eksperimen. Karenanya, tidak ada instrumen yang memuaskan bagi partisipasi kebijakan lingkungan dalam konteks societalisation dan marketisasion seperti yang telah dikembangkan di masa kini.

Proses societalisation dari kebijakan lingkungan mementingkan perubahan strategi manajemen, di mana pengaturan oleh pemerintah yang sering kali bersifat top-down didukung pula oleh bentuk-bentuk pemerintahan lain yang lebih komunikatif (Weale, 1992 dalam Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Di sini, warga negara dan organisasi-organisasi nonpemerintah tidak bisa secara semena-mena sekadar bersifat reaktif terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui protes dan penolakan. Dalam proses ini, ditekankan pula pentingnya keterlibatan dari aktor-aktor yang tidak berasal dari kaum elit melainkan masyarakat sipil yang secara riil menghadapi permasalahan lingkungan.

Sementara itu, proses marketisation berjalan seiring dengan proses societalisation sejak tahun 1985. Proses ini terkait dengan indikator-indikatoir yang saling terkoneksi (Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Dalam proses ini, pemerintah bukannya begitu saja mengeluarkan suatu regulasi tetapi juga memperkenalkan instrumen konformasi pasar yang mengajak masyarakat dan bisnis untuk mengubah perilakunya terkait dengan lingkungan. Pasar dan masyarakat tidak semata-mata dipandang sebagai objek hukum, tetapi juga konsumen dan manufakturer. Seperti pihak-pihak di pasar, mereka memiliki peran-peran yang harus dijalankan dengan tanggung jawabnya masing-masing.

Singkatnya, dalam jangka tiga puluh tahun ini, argumen mengenai partisipasi beserta pengaturannya telah mengalami banyak perubahan (Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Meski demikian, hal ini belum membawa perubahan yang signifikan dalam keseimbangan pembagian kekuassan dalam kaitannya dengan kebijakan lingkungan. Studi-studi yang dilakukan pada tahun 1970-an hingga 1980-an justru menunjukan bahwa keterlibatan yang sesungguhnya dari masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan sangatlah rendah, terlepas dari adanya instrumen-instrumen partisipasi yang kemudian disediakan, tampak bahwa inisiatif untuk proses pembuatan keputusan yang pasrtisipatif pada tahun 1990-an juga gagal untuk mewujudkan keseimbangkan kekuasaan.

Instrumen partisipasi harusnya tidak hanya dinilai berdasar kontribusinya dalam melakukan pergeseran terkait keseimbangan kekuasaan, demokratisasi, atau gagasan-gagasan ideal lainnya (Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Perubahan-perubahan ini juga harus dipandang sebagai suatu usaha kanalisasi bagi kebutuhan sosial dan politik baru melalui pembaharuan infrastuktur dan instrumen politik dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, infrastruktur politik pada tahun 1970-an telah terbuktu tidak efektif dalam menyelesaikan konflik lingkungan yang cukup sering terjadi di kala itu. Partisipasi di satu sisi dan debat publik berskala luas di sisi lain adalah yang sesungguhnya diperlukan sebagai instrumen penting untuk menyelesaikan permasalahan ini. Namun begitu, seperangkat instrumen partisipatoris yang sama juga terbukti tidak sesuai dengan pergeseran yang terjadi dalam hubungan antara pemerintah, pasar, dan masyarakat sipil sejak tahun 1980-an. Relasi yang telah berubah ini pun pada waktunya membutuhkan instrumen partisipasinya yang sendiri, disesuaikan sesuai keadaan dan kebutuhan di masa itu.

Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk merancang instrumen partisipasi yang baru, yakni: green polder model atau demokratisasi yang lebih jauh, khususnya terkait relasi antara pasar dan masyarakat (Leroy & Van Tatenhoeve, tanpa tahun). Keberhasilan dari socio-economic polder model yang berbasis pada konsensus antara pemerintah, perdagangan, industrri, serta pergerakan kongsi perdagangan telah menginspirasi sebagian pihak untuk menerapkan model yang serupa dalam kebijakan lingkungan. Menurut beberapa pihak, instrumen yang demikian dapat secara substansial meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan meredakan konflik terkait infrastruktur, agrikultur, alam, dan sebagainya.

Di sisi lain, beberapa pihak justru menilai green polder model akan menjadi sebuah bencana (Leroy & Van tatenhoeve, tanpa tahun). Hal ini disebabkan karena pihak-pihak ini mengasosiasikan polder model dengan konsultasi antara elit dan kelompok kepentingan, yang tanpa diketahui oleh para pendukunganya, justru berkompromi satu sama lain. Konsensus antarelit ini tidak akan mengarah pada partisipasi masyarakat yang sesungguhnya. Argumen ini kemudian mengarah pada langkah radikal yang diambil dalam inovasi politis: seperti apa yang terjadi pada periode 1960-an hingga 1970-an ketika masyarakat berusaha masuk dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, hal yang sama perlu diterapkan pada pasar, di mana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pasar harus lebih transparan dan dapat diakses oleh masyarakat. Dengan kata lain, bila perdagangan dan industri hendak menerima tanggung jawab terkait kebijakan lingkungan, mereka perlu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan masyarakat. Apa yang telah Greenpeace capai dalam kasus Brent-spar dari Shell seharusnya menjadi perilaku yang logis bagi bisnis-bisnis di masa depan. Eco-labels, laporan lingkungan, energi hijau, dan instrumen-instrumen lain karenanya hanya menjadi langkah inisial tentatif dalam sebuah proses politisasi dan demokratisasi berjangkauan luas dari pasar dan masyarakat.

Referensi

Leroy, P. & Van Tatenhove, J. P. M. (tanpa tahun). Environment and Participation.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun