Pernahkah Anda merasa heran, mengapa sebuah kebijakan publik bisa terasa begitu janggal, bahkan kadang kontradiktif? Seolah-olah keputusan itu diambil tanpa pijakan pengetahuan yang memadai. Rasanya bukan sekadar prasangka. Ada data dan fakta yang menunjukkan bahwa persoalan literasi---ya, kemampuan membaca dan memahami informasi---memang masih menjadi titik lemah bangsa ini, termasuk di kalangan pejabatnya.
Mari kita lihat cermin paling jujur: PISA 2022. Skor membaca pelajar Indonesia hanya 359 poin, jauh di bawah rata-rata OECD yang berada di kisaran 472--480 poin. Jika pelajar kita saja sudah kesulitan memahami teks kompleks, bayangkan seperti apa tantangannya ketika mereka dewasa, lalu sebagian dari mereka duduk di kursi pengambil kebijakan.
(Sumber: Katadata, 2024)
Pandemi COVID-19 memberi pelajaran keras. Data epidemiologi dan riset ilmiah tersedia melimpah, tapi kebijakan publik sering berubah-ubah, bahkan saling bertentangan. Katadata mencatat lemahnya literasi sains di kalangan pejabat membuat banyak rekomendasi penelitian tidak pernah benar-benar dijadikan pijakan. Kebijakan lebih sering lahir karena tarik-menarik politik ketimbang ketepatan analisis.
Lemahnya literasi juga tampak dalam cara pemerintah berkomunikasi. Pernahkah Anda merasakan bingung saat aturan baru diumumkan? Satu menteri bicara A, menteri lain bicara B. Kompas menuliskan bahwa komunikasi kebijakan publik kita kerap berantakan, dan itu terjadi karena pejabat tidak terbiasa mengolah informasi secara utuh. Akibatnya, alih-alih mencerdaskan, mereka justru membingungkan masyarakat.
Padahal, di era digital, kemampuan literasi bukan lagi sekadar membaca buku cetak. Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut memahami aplikasi, data, dan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Namun penelitian di Kota Bengkulu menunjukkan bahwa literasi TIK ASN masih banyak kelemahan, bahkan dipengaruhi kondisi sosial ekonomi.
(Sumber: Jurnal UMB, 2023)
Hal serupa ditegaskan oleh penelitian Adibrata Iriansyah dkk. (2023): pelatihan literasi digital ASN sering hanya formalitas, sekadar mengejar angka kredit, bukan peningkatan kompetensi nyata. Padahal, Permen PAN-RB No. 38/2017 sudah menekankan pentingnya literasi digital sebagai salah satu kompetensi dasar ASN. Sayangnya, regulasi tinggal regulasi, implementasi masih jauh panggang dari api.
Dampaknya? Nyata. Rekomendasi riset sering terabaikan, hoaks mudah memengaruhi pejabat, aplikasi digital pemerintah berakhir mubazir. Telkom University (2023) bahkan menyebut literasi digital yang rendah membuat masyarakat dan pejabat sama-sama rentan terhadap misinformasi.
Jika kita tarik benang merahnya, maka jelas: pejabat publik yang tidak membaca, yang tidak akrab dengan data dan buku, berisiko melahirkan kebijakan yang salah arah. Mereka ibarat nakhoda yang enggan membaca peta, namun tetap memaksa berlayar di lautan luas.
Di titik inilah membaca menjadi tanggung jawab moral. Membaca bukan soal gaya hidup intelektual, melainkan fondasi keberanian mengambil keputusan. Dengan membaca, pejabat bisa menimbang lebih jernih, ASN bisa mengeksekusi lebih presisi, dan publik bisa lebih percaya bahwa negara ini dikelola dengan akal sehat, bukan sekadar insting politik.
Karena tanpa literasi, kebijakan akan terus berjalan pincang. Dan kita semua tahu, kapal bernama Indonesia ini terlalu besar untuk diserahkan kepada nakhoda yang menutup mata pada buku.