Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Mengapa "Dia Lagi-Dia Lagi"? Rahasia Kesempatan Dalam Dunia Kerja

21 September 2025   07:26 Diperbarui: 20 September 2025   09:47 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini, kita sering mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan. Satu lowongan bisa dilamar oleh ratusan bahkan ribuan orang. Rasanya kesempatan begitu terbatas, persaingan begitu ketat, dan hanya sebagian kecil orang yang beruntung mendapatkannya. Namun, di sisi lain, ada pula kisah yang kontras: orang-orang yang seolah mudah sekali mendapat peluang. Usaha mereka berkembang, penghasilan bertambah, dan kesempatan seakan selalu menghampiri.

Muncul pertanyaan: apakah semesta tidak adil? Ataukah memang begitu cara semesta bekerja, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin?

"Dia Lagi, Dia Lagi"

Di tempat kerja, kita kadang mendengar ungkapan, "dia lagi, dia lagi". Bahkan dalam konteks lain, muncul istilah "loe lagi, loe lagi". Seolah-olah tidak ada orang lain yang bisa dipilih selain nama yang sama itu-itu saja. Fenomena ini sering dipandang tidak adil. Namun, jika direnungkan lebih dalam, ada logika sederhana yang bisa menjelaskannya.

Kita cenderung mempercayakan sesuatu kepada orang yang memang bisa dipercaya. Dalam dunia kerja, kepercayaan itu mahal nilainya. Ketika ada pekerjaan penting, manajer atau pemimpin tentu akan memberikan tugas tersebut kepada orang yang diyakini mampu menyelesaikannya, bukan kepada yang belum terbukti. Hasilnya, orang-orang yang sudah dikenal kompeten akan mendapat lebih banyak kesempatan.

Seorang teman saya yang memiliki usaha pernah bercerita. Ia beberapa kali merekrut pegawai karena kasihan, biasanya atas rekomendasi teman atau keluarga. Alasannya sederhana: orang itu sudah lama menganggur. Namun, setelah diberi kesempatan, ternyata hasilnya mengecewakan. Orang tersebut tidak bisa bekerja sesuai kebutuhan, bahkan berpotensi menurunkan semangat karyawan lainnya. Akhirnya, dengan berat hati ia memberhentikannya. Dari situ ia mengerti mengapa orang tersebut lama menganggur: bukan karena semesta tidak adil, melainkan karena kemampuan yang belum sesuai.

Kesempatan Tidak Mengetuk Pintu yang Sama

Dari cerita itu, kita bisa belajar bahwa peluang dan kesempatan bukan sesuatu yang datang begitu saja. Ia akan lebih mudah mendekat kepada orang yang siap dan mampu. Peluang jarang mengetuk pintu yang tidak siap dibuka.

Bayangkan seseorang yang punya keterampilan memasak. Ia mungkin tidak mampu langsung membuka restoran besar karena keterbatasan modal. Namun, ada banyak jalan lain. Saya sendiri sering membeli lauk matang dari ibu-ibu yang setiap pagi berkeliling kompleks menjajakan masakannya. Ia mungkin hanya membawa beberapa bungkus kecil, tapi setiap hari ada pembeli tetap. Ia tidak menunggu restoran megah untuk berdiri. Ia mulai dari apa yang bisa dilakukan.

Kisah seperti ini menunjukkan bahwa kesempatan bukan hanya soal nasib, melainkan soal kejelian membaca peluang dan keberanian untuk memanfaatkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun