Socrates (470--399 SM) adalah filsuf Yunani kuno yang tak pernah menulis buku, tetapi meninggalkan warisan intelektual melalui pertanyaan-pertanyaan yang mengguncang kenyamanan. Ia berkeliling Athena, berdialog dengan siapa pun, pemuda, politisi, pengrajin, dan dengan metode tanya-jawabnya, ia menyingkap kepalsuan mereka yang mengaku tahu. Ucapan terkenalnya, "Aku tahu bahwa aku tidak tahu," menjadi dasar bahwa kebijaksanaan dimulai dari kesadaran akan keterbatasan diri.
Namun, keberanian itu membuatnya dianggap merusak moral anak muda, menolak dewa-dewa kota, dan mengancam stabilitas politik. Pada 399 SM, ia dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun hemlock. Ironisnya, kematiannya justru mengabadikan gagasan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang kosong.
Jika Socrates Hadir di Indonesia Hari Ini
Seandainya Socrates muncul di tengah Indonesia kini, ia takkan sibuk membuat pidato atau manifesto. Ia akan berdiri di persimpangan kota, bertanya dengan suara tenang, namun pertanyaan-pertanyaan itu akan terasa seperti pukulan keras ke wajah publik.
- Tentang Kekuasaan dan Korupsi
Socrates mungkin tidak hanya menyinggung soal amplop atau suap---hal yang sudah jadi rahasia umum. Ia akan menukik lebih dalam: "Wahai para pemimpin, mengapa kalian membiarkan birokrasi dipenuhi aturan yang rumit, sehingga rakyat kecil selalu terjebak untuk membayar jalan pintas? Apakah korupsi hanya perkara uang, atau juga perkara waktu, pelayanan, dan harga diri yang dicuri dari rakyat?"
Lebih jauh, ia akan bertanya: "Kalian menyebut diri pemimpin, tapi mengapa lebih sibuk menjaga citra daripada membangun keadilan? Bukankah korupsi paling berbahaya bukanlah mencuri kas negara, melainkan mencuri kepercayaan hingga rakyat tak lagi percaya bahwa kebaikan mungkin ada?"
Pertanyaan ini menyasar akar terdalam: bahwa korupsi bukan sekadar tindakan, melainkan atmosfer sosial yang melumpuhkan kepercayaan bersama. - Tentang Pendidikan
Socrates akan masuk ke kelas-kelas yang sempit, papan tulis usang, dan anak-anak yang belajar di bawah atap bocor. Ia akan bertanya: "Apakah kalian menyebut ini pendidikan? Jika tujuan belajar adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mengapa sekolah masih jadi mimpi mahal bagi yang miskin? Apakah pendidikan hanya jalan menuju gelar dan pekerjaan, ataukah jalan untuk melahirkan manusia merdeka?"
Ia mungkin akan lebih tajam: "Guru, mengapa kalian lebih sibuk mengejar kurikulum daripada mengasah jiwa murid? Murid, mengapa kalian rela menghafal tanpa memahami, demi angka-angka di rapor? Bukankah bangsa ini sedang melahirkan generasi pekerja, bukan generasi pemikir?"
Pertanyaan-pertanyaan ini akan menelanjangi kenyataan pahit: pendidikan di negeri ini lebih banyak menghasilkan birokrat kertas daripada manusia bijak.
Mengapa Kita Butuh Sosok Seperti Socrates
Socrates di zamannya dihukum mati karena dianggap mengganggu ketertiban. Jika ia hadir di Indonesia sekarang, ia mungkin juga akan dibungkam, dituduh provokator, atau ditenggelamkan oleh buzzer. Tetapi kehadirannya penting, karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutup telinga dari kritik, melainkan yang berani bercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang pedih.
Socrates mengajarkan bahwa keberanian untuk bertanya lebih penting daripada kenyamanan untuk diam. Indonesia, dengan segala potensinya yang besar namun juga penuh luka, membutuhkan lebih banyak orang yang mau mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit---meski jawabannya pahit.
Apakah kita berani menjadi "pengganggu" seperti Socrates? Ataukah kita akan terus memilih aman dalam diam, sambil membiarkan kepalsuan tumbuh subur?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI