Upacara berjalan khidmat, merah-putih berkibar gagah, dan seluruh peserta didik bernyanyi penuh semangat. Namun setelah upacara usai, sebagian siswa langsung menunduk kembali ke ponselnya. Buku catatan masih kosong, literasi tetap rendah, dan diskusi di kelas sering kandas di tengah jalan.
Saat itu saya tersadar: apakah kemerdekaan yang dirayakan setiap tahun benar-benar sudah sampai ke ruang kelas? Ataukah kemerdekaan baru berhenti pada seremoni, sementara dunia pendidikan kita masih terjajah oleh ketertinggalan dan ketidakpedulian?
Dari Bambu Runcing ke Papan Tulis
Para pejuang dulu mengangkat bambu runcing melawan penjajah. Hari ini, guru seharusnya "mengangkat" papan tulis, laptop, atau pena sebagai senjata. Tetapi faktanya, banyak guru terjebak dalam rutinitas: mengajar sekadar menjalankan kewajiban, bukan membebaskan pikiran siswa.
Kita merdeka secara politik sejak 1945, tetapi apakah kita sudah merdeka secara intelektual? Data PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam literasi membaca. Ini bukan sekadar angka, ini alarm bahwa perjuangan di ruang kelas jauh dari kata selesai.
Seharusnya, setiap guru adalah pejuang pembelajar. Karena hanya guru yang terus belajar yang bisa membebaskan siswa dari "penjajahan" baru: malas berpikir, miskin literasi, dan miskin keberanian untuk berpendapat.
Kemerdekaan Bukan Sekadar Lomba 17 Agustus
Saya menyukai lomba tarik tambang dan balap karung di sekolah. Anak-anak tertawa riang, suasana penuh kebersamaan. Tapi mari jujur, kemerdekaan tidak bisa diukur dari seberapa keras kita menarik tambang. Kemerdekaan sejati justru terlihat dari apakah siswa kita berani menarik garis pikirannya sendiri.
Guru pembelajar harus menghadirkan kemerdekaan itu: ruang kelas di mana siswa boleh salah, berdebat, mempertanyakan, bahkan menantang guru. Karena di situlah pikiran merdeka lahir.
Menulis: Senjata Sunyi Guru
Bagi saya pribadi, menulis adalah cara paling nyata merayakan kemerdekaan. Dengan menulis, saya bisa mengkritik sistem pendidikan tanpa harus menunggu panggung seminar. Dengan menulis, saya bisa melawan stigma bahwa guru harus selalu manut aturan.
Bukankah proklamasi kita lahir dari selembar teks sederhana yang ditulis dalam kondisi genting? Tulisan mampu mengubah sejarah. Maka mengapa guru masih ragu untuk menulis?
Saya membayangkan, andai setiap guru di Indonesia menulis pengalaman mengajarnya tentang siswa yang berjuang, tentang metode kreatif, atau tentang ironi di lapangan bangsa ini akan memiliki gudang pengetahuan otentik yang jauh lebih kaya daripada dokumen birokratis.
Guru yang Diam = Kemerdekaan yang Mandek
Guru yang berhenti belajar ibarat pejuang yang menurunkan senjata. Guru yang enggan menulis ibarat pahlawan yang memilih bungkam di depan penjajah.
Kita tidak bisa lagi berlindung di balik alasan sibuk atau keterbatasan. Karena kemerdekaan tidak menunggu orang yang malas. Kemerdekaan menuntut pengorbanan, dan di era ini pengorbanannya bukan darah, melainkan waktu untuk terus belajar dan menulis.
Estafet Kemerdekaan Ada di Tangan Guru
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun perjuangan di ruang kelas masih jauh dari selesai. Kita masih menghadapi generasi yang lebih akrab dengan layar gawai daripada lembar buku. Kita masih berhadapan dengan siswa yang cepat menyerah karena tak terbiasa berpikir kritis.
Maka, tugas kita sebagai guru jelas: menjadi pembelajar abadi.
- Belajar agar kita tidak terjebak pada metode usang.
- Menulis agar kita bisa menyuarakan gagasan, melawan kebisuan, dan meninggalkan warisan pemikiran.
- Membebaskan siswa dari keterbatasan, sama seperti pahlawan dulu membebaskan bangsa dari penjajahan.
Kalau dulu pahlawan meneriakkan "Merdeka!" di medan tempur, kini giliran kita meneriakkan "Merdeka belajar!" di ruang kelas. Itulah cara kita melanjutkan estafet perjuangan.
Selamat ulang tahun ke-80 Republik Indonesia. Semoga kita tidak hanya merdeka di bendera, tetapi juga merdeka dalam pikiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI