Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tergoda Romantisme Habibie dan Ainun, Alice Rela Hidup Sendiri di Jerman

10 Mei 2023   07:27 Diperbarui: 10 Mei 2023   07:32 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi ; https://www.facebook.com/alice.jocelin/photos_of

Memilih melanjutkan studi ke negara yang tidak menggunakan Bahasa Inggris, adalah sebuah tantangan tersendiri bagi Alice. Terlebih menjalaninya seorang diri. Dia harus belajar mempersiapkan segala sesuatunya di tengah beragam kendala sendirian. Mulai kebutuhan studi dan juga kebutuhan untuk menjalani rutinitas harian. Tetapi dari sana ia belajar banyak hal. Ibarat belajar berenang, ia langsung menceburkan diri ke dalam lautan. Tidak ada pilihan, alternatifnya teruslah mengapung bagaimanapun caranya.

Tergoda pada romantisme Habibie dan Ainun, Alice meyakini bahwa Jerman adalah tempat yang bisa mengantarkan pada mimpinya. Apalagi seorang teman SMP mengajaknya belajar Bahasa Jerman, tanpa butuh waktu lama ia mengangguk. Karena selain romantismenya, Jerman juga menyediakan pendidikan gratis. Sebuah daya tarik lebih untuk menimba ilmu disana.

Tidak mudah untuk mendapat restu orang tua, Jerman terlalu jauh bagi Alice menurut mereka. Jika memang ingin study ke luar negeri, mereka menawarkan Australia atau Singapura. Alice bergeming, sehingga tidak satupun dari universitas selain Jerman ia pilih selepas SMA. Karena tekad bulatnya, orang tua akhirnya merelakan, meski harus menahan rindu nantinya.

Di Jerman, Alice mengambil studi di Universitas Duisburg-Essen  jurusan teknik elektro. Di sini ia mulai menemukan banyak kendala, diantaranya budaya yang diawali oleh adanya keterbatasan Bahasa.

Semasa di bangku SMA, Alice menjalani hidup dengan banyak panduan dan tuntunan. Ada begitu banyak orang yang bersedia memberinya pertimbangan dan mengarahkan dirinya, meski pada akhirnya dia yang akan menentukan. Tetapi di sini, tempatnya yang baru, dia sendiri yang harus memutuskan. Hal inilah yang menjadi persoalan bagi Alice. Dia belum terbiasa melakukannya. Ia tidak hanya mandiri dalam artian fisik belaka, yang berarti sendirian, tetapi juga dalam kontek berpikir dan menentukan sikap.

Awalnya ia benat-benar ingin menyerah dan kembali ke Indonesia. Tetapi mengingat bahwa untuk berada di titik ini bukanlah hal yang mudah, Alice menimbang kembali keinginannya itu. Ia belajar mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dia ambil. Ia terima resikonya, ia jalani pilihannya meski sangat tidak mudah. Terseok, tetapi ia memiliki keyakinan dapat menyelesaikan study tepat waktu, seperti halnya teman-temannya yang berada di Indonesia.

Hal sederhana yang ia temukan soal pendidikan di Jerman yang menuntut pertanggungjawaban secara pribadi adalah soal kehadiran. Di Jerman, dosen tidak peduli mahasiswa hadir atau tidak mengikuti perkuliahan, tidak perlu ada kontrol. Pilihannya ada pada mahasiswa itu sendiri, jadi tidak perlu juga titip tanda tangan presensi. Kebebasan yang tidak mudah bagi seorang Alice. Terlalu menggoda untuk tidak dimanfaatkan peluang tersebut. Namun kembali lagi, Alice teringat tujuannya ke Jerman, itulah yang membuatnya perlahan belajar artinya bertanggungjawab.

Sebagai mantan tim inti basket putri sekolah, saya menanyakan bagaimana aktivitas basketnya disana. Hanya di semester satu saja ia sempat ikut klub, setelah itu ia non aktif. Artinya hobi yang kala SMA membuat ia menjadi penunggu sekolah, belum bubar sebelum satpam turun  tangan itu, ia tinggalkan. Target yang ia pasang membuatnya sibuk bergelut dalam dunia akademik.

Selain itu ada hal lucu yang ia ceritakan, sesuatu yang membuatnya menekuni pekerjaan yang kini ia jalani. Bertahun-tahun hidup di Jerman, itu tidak membuatnya aman dari jebakan kekeliruan Bahasa. Hanya soal salah mengartikan kata, Alice yang memiliki background enginer, kini harus berkutat pada urusan pajak. Berawal dari kata "steuersoftware", yang "steuer"nya ia pahami sebagai otomatisasi, namun pada saat interview ia baru paham jika yang dimaksudkan di sana adalah pajak. Terjebak, namun hingga kini tetap ia tekuni. Menurutnya, ini jalan Tuhan.

Ketika saya singgung soal bekerja di Indonesia, bukannya tidak ingin, Alice hanya mengutarakan soal peluang. Apalagi investasi yang ia habiskan untuk menjalani study di Jerman yang gratis ini juga sebenarnya tidak murah. Makan, akomodasi dan juga transportasi. Maka ia akan memanfaatkan peluangnya di Jerman terlebih dahulu, sebelum nantinya ia menimbang untuk berkarier di kampung halamannya. Apapun pilihannya, semoga itu yang terbaik bagi Alice. Selamat berjuang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun