Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Logika Atas Rasa

26 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2018   08:48 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini di luar kebiasaan, caf mulai didatangi pengunjung lain. Tim belum juga beranjak. Ia masih serius memperhatikan notebooknya. Beberapa pelayan memberi kode pada temannya, supaya mengingatkan, siapa tahu Tim sedang tidak menyadari situasinya.

"Mas Tim tidak ada kuliah pagi?" seorang pelayan akhirnya mendatangi Tim.

Tim melirik, tersenyum, dengan muka serius lucunya ia menjawab

"Heran?"

Pelayan mengangguk.

"Lagi ada yang harus aku selesaikan," kembali Tim serius menatap notebooknya. Para pelayan maklum.

Bagi mereka Tim sudah bukan orang lain, hampir tiap pagi dia sarapan di sini. Mengakses WiFi, dengan beberapa potong roti. Kopi pahit menjadi menu tetapnya. Air putih ia bawa sendiri dari dalam tas gendongnya. Bahkan jika terpaksa, Tim juga ringan tangan membantu para pelayan menyusun kursi, tentu bagi kursi yang akan ditempatinya sendiri.

Dua tumpuk buku tepat dihadapan Tim, semuanya bertemakan calculus, tapi sejak diambil dari raknya sama sekali belum Tim buka. Ia justru tetap asik dengan bacaan psikologi, teori-teori perkembangan. 

Beberapa kali ia menyalin kalimat-kalimat yang ada di buku itu. Sesekali ia mengangkat dahi, mengangguk berprilaku seperti seseorang yang sedang dicerahkan atau mendapat pengetahuan baru.

Beberapa hari ini Tim gundah, ada yang beda dari penglihatannya. Bukan hanya itu, jantungnya juga berdebar tak seperti biasanya. Itu semuanya membuatnya bingung, ia merasa kurang sehat, tetapi ia juga tahu tak ada obat kimia yang tepat dapat mengobati sakitnya. Itu yang ia baca dari buku tentang gejala sakitnya itu. Tim hanya termangu, dari banyak buku yang sudah ia baca, gejalanya mengarah pada satu diagnosis pasti. Diagnosisnya berdasarkan buku itulah yang juga kini membuatnya bertambah gundah, benarkah?

Entah sudah berapa judul buku-buku psikologi ia baca, gejalanya mengarah hal yang sama. Tim tak yakin, tetapi semakin ia coba tutupi gejalanya. Seperti memilki daya besar sekali virusnya mampu menyembul kepermukaan. Itu membuat raut muka berubah warna, dan anehnya Tim tak yakin dengan diagnosa buku-buku psikologi itu. Tim juga bingung, pada teori apalagi ia harus diyakinkan. Matematika yang ia geluti, jelas tak mengajarkan fenomena ini. Bertanya pada teman-teman, tak ada gunanya, itu hanya akan membawanya pada bulliying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun