Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Logika Atas Rasa

26 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2018   08:48 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi pahit, dan dua lapis roti bakar, belum juga tersentuh gigitan Tim. Ia masih asik dengan notebooknya. Padahal, sudah hampir setengah jam ia duduk di tempat ini. Hanya beberapa menit setelah caf di buka. 

Pelayan caf tahu benar tabiat pelanggan yang satu ini. Duduk di pojokan dengan akses internet terkuat, berjam-jam hanya akan menghabiskan beberapa ribu rupiah saja. Kalaupun nambah, pasti hanya air putih. Ia akan segera pergi, saat caf mulai ramai di datangi pengunjung untuk sarapan.

Timo, sebenarnya itu namanya, dan hanya itu. Tetapa lebih beken dengan panggilan Tim. Dia tidak bergaul akrab dengan banyak teman, tetapi hampir satu kampus tahu siapa Tim. Penampilannya yang unik, lengkap dengan kegemarannya yang klasik, membuat ia menjadi satu-satunya orang yang punya gaya beda. Itu bukan karena ia suka trend, tetapi itulah Tim dengan segala keberadaannya. Bahkan ia tak mengerti trend atau gaya sama sekali.

Kacamatanya minus lima setengah, satunya lagi minus empat. Ia murah senyum, pada siapapun pasti ia akan tersenyum, hanya itu yang akan muncul dari raut mukanya. Tak perlu berharap kalimat keluar dari mulutnya.

Senyum adalah andalannya dalam berkomunikasi. Kaus oblong menjadi baju favoritnya, untuk beberapa kasus ia pernah dikeluarkan dari kelas karena ngotot tetap mengenakan kaus oblong. Kadang ada saja dosen yang tak membolehkan mengikuti kelas jika bersandal jepit dan berkaus oblong. Sukurlah Tim tidak menggemari sandal jepit, ia lebih suka dengan sepatu kets.

Mungkin sejak kecil Tim tidak pernah diperkenalkan dengan sisir oleh orangtuanya. Namun bukan berarti rambutnya tidak rapi, ia selalu merapikan penampilan mahlotanya itu dengan air keran wastafel kampus beberapa jam sekali. Sisirnya pemberian ilahi, lima jari. Itulah Tim yang tidak mengakrabi siapapun, namun di kenal oleh siapapun.

"Kopinya satu lagi ya!" seru Tim pada pelayan.

Pelayan yang dimaksud mengangguk, tak lama kemudian sudah ada di hadapan Tim membawa pesanannya.

"Rotinya nambah Mas?"

"Cukup"

Dengan gaya serius, yang sebenarnya lucu Tim tegas menjawab. Pelayan berlalu, dengan sedikit senyum dibibirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun