Akhir tahun, nulis apa ya yang menarik? Masih muter cari ide, kok seperti pucuk dicinta ulam tiba, Kompasiana tiba-tiba menawarkan ajakan menarik. Menjadi kurator dari tulisan yang terdapat di media blogging ini. Tetapi setelah ditimbang, tentu dengan kejernihan pikiran. Menilai tulisan orang lain, apalagi centang ijo saya itu masih berbunyi ; junior, rasanya menjadi beban tersendiri. Bahkan untuk menilai tulisan saya sendiri. Takut dibilang, ke-GRan.
Tetapi lebih baik dibilang keGRanlah, daripada minder. Jadi bagi teman-teman, kalau hasilnya nanti masih belang blonteng, ya dimaklumi saja. Maklum, kurator amatiran.
Penilaian saya kali ini akan saya coba dari beberapa tulisan saya sendiri. Sekaligus menjadi ajang nostalgia. Para penulis besar juga bilang, setelah menulis, biasakan mengendapkan tulisan tersebut, lantas edit. Dengan demikian, tulisan akan menjadi lebih baik. Siapa tahu, proses ini akan membuat tulisan saya yang sudah mengendap lama di Kompasiana bisa menjadi lebih baik lagi. Syukur, pada saatnya nanti bisa diterbitkan dalam versi cetak. Ngarep yang positif tidak ada salahnya kan?
Supaya penilaian lebih objektif, saya mencoba menghindari penilaian dengan menggunakan ukuran yang ter-ini atau ter-itu. Kali ini, saya menggunakan pisau analisa yang netral saja; yaitu tulisan yang menurut saya bermakna monumental. Tentu bagi saya, sebagai penulisnya.
Saya mulai dengan tulisan yang berjudul ; Pendidikan karakter dalam ruang hampa. Sebab ini merupakan tulisan pertama saya di Kompasiana. Sebagai New Comer, saya deg-degan waktu mencet tombol tayangkan. Setelah tulisan berhasil tayang, resmi sudah saya menjadi bagian dari keluarga besar penulis di Kompasiana ini.
Sebagai guru, saya menyoroti persoalan dunia Pendidikan di negeri ini. Banyaknya tawuran pelajar, Pendidikan yang berorientasi pada kepentingan akademik semata, serta ketidakpedulian masyarakat pada proses pendidikan yang berlangsung, yakni keteladanan.
Sehingga dimata saya, dunia Pendidikan di negeri ini kesepian. Karena harus menanggung bebannya sendirian. Sementara, masyarakat menuntut Pendidikan harus menghasilkan alumni-alumni yang sesuai dengan gambaran-gambaran ideal mereka.
Tulisan kedua, berjudul ; Identitas bangsa modal dalam kompetisi global. Tulisan ini diganjar Headlineuntuk pertama kalinya oleh admin. Saya jadi memiliki rasa percaya diri, ternyata tulisan saya ada juga yang sampai ditahap itu. Meski, gonta ganti kategori, tetap saja dunia yang saya geluti membukanya dengan manis.
Disini saya menyoroti maraknya pembukaan sekolah-sekolah internasional. Bukan substansinya yang saya kritik, tetapi esensinya. Sebab saya menilai, upaya tersebut hanya sebagai bentuk sekolah mengejar trend. Pada gilirannya, justru dapat menggerus nilai-nilai positif yang sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa sendiri.
Meski tidak diganjar pilihan apalagi headline, tulisan ketiga ini tetap bernilai bagi saya. Saya beri judul ; Berpikir kreatif melalui belajar Sejarah. Karena ini adalah tulisan saya pertama yang membicarakan mata pelajaran yang saya ampu di sekolah.
Ditulisan ini, saya mencoba memberi gambaran mengenai apa yang sesungguhnya dipelajari ketika seorang anak itu belajar sejarah. Bukan sekedar menghafal data yang berupa tanggal, tempat dan nama tokoh. Tetapi juga mengembangkan pemikiran-pemikiran yang kritis dan konstruktif. Karena sesungguhnya demikianlah esensi dalam pembelajaran sejarah.