Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peranakan Tionghoa dan Penegasan Keindonesiaannya

19 November 2017   12:42 Diperbarui: 19 November 2017   12:54 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: travel.kompas.com

Pengakuan pemerintah kolonial atas orang-orang Jepang yang sebenarnya golongan Timur Asing ke dalam masyarakat Eropa, setidaknya memberi dorongan masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia untuk mendapat pengakuan yang sama. Membangun keterikatan dengan Tiongkok negeri asalnya diyakini dapat menjadi alternatif pilihan dalam memperjuangkan kesetaraan tersebut. Perjuangan mereka ini mereka suarakan melalui pers yang mereka kelola, seperti misalnya Sin Po.

Kedua adalah Peranakan Tionghoa yang dalam melakukan perjuangannya melihat kedudukan mereka sebagai kawula Belanda, penduduk  kolonial Belanda. Dengan demikian cara-cara yang mereka pakai adalah cara-cara konstitusional. Mirip dengan gerakan menuntut kesetaraan yang dilakukan oleh masyarakat bumiputra. Golongan ini tergabung dalam organisasi Chung Hwa Hui (CHH).

Ketiga adalah Peranakan Tionghoa yang menyadari kedudukannya sebagai rakyat Indonesia, sehingga mereka menganggap perlu melakukan perjuangan bersama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kelompok ini mewujudkan keseriusannya dengan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932 . Salah satu tokohnya adalah Liem Koen Hian.

Orientasi nasionalisme PTI ini diawali oleh gagasan Liem Koen Hian yang menuliskan  pendapatnya tentang siapa yang disebut orang Indonesia di surat kabar Sin Tit Po. Ia menyatakan ;

"perkataan Indonesier bisa berarti seorang Indonesier asli, yaitu artian etnologi dan juga bisa berarti rakyat dari negeri Indonesia, yaitu artian staatkundig. ....perkataan Indonesier tidak saja berarti seorang Indonesier asli, tetapi juga berarti seorang yang jadi rakyat dari negeri ini.....Saya berkeyakinan dalam tempo yang tidak terlalu lama akan lahir tidak saja orang Indonesier asli yang dinamakan Indonesier, tetapi juga Peranakan Tionghoa, Peranakan Belanda, Peranakan Arab..."

Gagasan Liem Koen Hian  ini didukung oleh Dr. Sutomo dan disampaikan dalam pidatonya dihadapan Peranakan Tionghoa peserta rapat di Surabaya pada 23 Agustus 1932.


Pandangan Liem Koen Hian tentang konsep Indonesier dan PTI juga menarik perhatian Ko Kwat Tiong, seorang pengacara Peranakan Tionghoa Semarang. Kemudian pada 9 Oktober 1932 dibentuklah PTI cabang semarang, pasca ceramah Liem Koen Hian yang bertemakan ; Pemikiran Indonesia  dan Tionghoa Peranakan di kota tersebut. Pemikiran tentang ke-Indonesian Peranakan Tionghoa lantang disuarakan oleh PTI melalui tokoh-tokohnya, surat kabar Sin Tit Po dimana Liem Koen Hian tercatat sebagai pemimpin redaksi menjadi corong tidak resmi PTI dalam menggelorakan gagasan tersebut.

Keragaman pandangan Peranakan Tionghoa di Indonesia untuk menentukan identitas kebangsaannya setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kedudukannya yang dianggap sebagai orang asing oleh sebagian masyarakat bumiputra. Kedua, belum adanya nasion dalam artian negara bangsa Indonesia, karena pada saat itu masih berupa gagasan. Ketiga, mereka menghadapi sentimen nasionalisme bumiputra yang semakin menguat. Akibatnya Peranakan Tionghoa terpecah ke dalam tiga aliran yang masing-masing meyakini bahwa jalur politik yang mereka anut akan memperjelas keberadaan mereka. Sebagai orang Tionghoa, orang Belanda  atau orang Indonesia.

Politik stratifikasi sosial menyadarkan Peranakan Tionghoa akan kedudukannya sebagai masyarakat kelas dua. Dalam banyak bidang masih mendapat perlakuan diskriminatif, disamping itu keistimewaan yang dimiliki menimbulkan kerawanan pada hubungan dengan masyarakat bumiputra. Kesadaran atas hal tersebut mendorong mereka menuntut kesejajaran dan membangun kerjasama dengan masyarakat bumiputra. Apapun kiblat politik yang dipilih. 

Setidaknya dalam hal ini antara Peranakan Tionghoa dan bumiputra menemukan simpul yang sama, yaitu memperjuangkan kesamaaan derajat. Posisi strategis Peranakan Tionghoa pada perekonomian pemerintah kolonial Belanda, dapat menjadi posisi tawar politis yang menguntungkan. Atas dasar itu pulalah tokoh-tokoh PNI seperti Soekarno merangkul tokoh-tokoh Peranakan Tionghoa, meski mereka berhaluan Tiongkok. 

Karena menurut Soekarno lebih berharga orang Tionghoa yang mengambil haluan nasionalisme Tiongkok tetapi mendukung pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya daripada yang menjadi orang Indonesia tetapi semata-mata karena ingin mendapatkan keuntungan. Keragaman haluan nasionalisme tak menghalangi sinergi positif antar mereka dan juga dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional bumiputra. Pada gilirannya sinergi positif tersebut juga mendorong proses integrasi, seiring semakin jelasnya gagasan negara bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun