Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peranakan Tionghoa dan Penegasan Keindonesiaannya

19 November 2017   12:42 Diperbarui: 19 November 2017   12:54 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: travel.kompas.com

Peranakan Tionghoa adalah istilah untuk menyebut pendatang yang berasal dari negeri Tiongkok dan kemudian menetap secara turun temurun di Indonesia. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia ini terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi pertama adalah mereka yang datang sebelum kedatangan para imperialis Eropa. Generasi kedua semasa imperialis Eropa, dalam hal ini saat VOC dan pemerintah Belanda berkuasa. Generasi ketiga adalah mereka yang datang pada saat setelah Indonesia merdeka. Setiap generasi memiliki dinamikanya masing-masing dalam membangun interaksi dengan masyarakat yang telah mendiami Indonesia sebelumnya.

Sebelum kedatangan bangsa Belanda, jumlah orang-orang Tionghoa masih sangat sedikit, hal tersebut disebabkan oleh adanya keterbatasan komunikasi dan tekanan kemaharajaan Tiongkok yang membatasi imigran secara besar-besaran. Aliran imigran Tiongkok meningkat tajam pada masa VOC berkuasa, sebab VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tidak lain karena kepiawaian mereka dalam melakukan perdagangan. Bahkan Charles Choppel menuliskan, jumlah imigran Tiongkok terus meningkat meskipun VOC mengalami kebangkrutan dan digantikan dengan pemerintah kolonial Belanda.

Kebijakan VOC yang dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam  memanfaatkan para imigran asal Tiongkok pada urusan perdagangan, ternyata berhasil menciptakan jaringan hubungan sosial baru di tanah jajahan. Menurut Sartono Kartodirdjo hubungan tersebut melampaui hubungan ikatan primordial. 

Semakin lama, hubungan tersebut semakin melembaga yang lambat laun berkembang menjadi jaringan sosial yang dapat melahirkan integrasi. Kondisi ini dapat mengganggu berlangsungnya eksistensi pemerintah kolonial atas tanah jajahan. Sehingga perlu sebuah kebijakan strategis mencegah hal tersebut berlangsung. Maka sistem adu domba diadopsi untuk memelihara rasa permusuhan di antara komponen yang terdapat dimasyarakat tanah jajahan.

Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menghidupkan prasangka secara horizontal antar masyarakat Indonesia, namun juga vertikal melalui kebijakan stratifikasi sosial.   Dalam hal ini pemerintah kolonial  Belanda menempatkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga golongan kelas. Wertheim dalam buku yang ditulis oleh I Wibowo menyebutnya sebagai colonial caste structure. Kelas utama diperuntukkan bagi golongan Eropa, golongan kedua bagi Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India), dan kelas ketiga bagi orang-orang bumiputra.

Golongan Timur Asing diberi fasilitas dalam urusan perdagangan, prioritas bagi orang-orang Tionghoa serta peranakannya. Hal tersebut dikarenakan oleh pertimbangan kuantitas,  orang-orang Tionghoa hampir tersebar di seluruh wilayah kekuasaan pemerintah kolonial. Namun di sisi yang lain, orang-orang Tionghoa tetap mendapat perlakuan diskriminatif dan tekanan-tekanan. 

Pemberian keistimewaan dan pemberlakuan berbeda ini sengaja dilakukan agar kaum yang dirugikan berkecenderungan untuk memusuhi kaum yang dianak emaskan. Di lain pihak, kaum yang dianak emaskan akan selalu berada dalam keadaan terancam dan membutuhkan perlindungan dari pemerintah yang berkuasa. sehingga sulit bagi mereka untuk menentang keinginan pemerintah kolonial Belanda.

Peranakan Tionghoa adalah golongan elit dalam bidang ekonomi. Tetapi secara politik mereka tetap berada di bawah golongan Eropa. Sebagai penduduk kolonial bersama dengan masyarakat lainnya, Peranakan Tionghoa juga merasakan sentimen ketika nasionalisme tumbuh di kalangan masyarakat bumiputra. 

Sentimen tersebut oleh Leo Suryadinata digambarkan sebagai sesuatu yang melahirkan dilema psikologis bagi masyarakat Peranakan Tionghoa, terutama berkaitan dengan penentuan arah perjuangan dalam menentukan orientasi nasionalismenya. Mereka diperhadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka tinggal di Indonesia (kolonial Belanda saat itu) yang sedang berjuang untuk  merdeka, di saat yang sama negara asalnya juga sedang berjuang untuk proses kesejajaran secara internasional. Diawali oleh terjadinya revolusi Tiongkok yang dimotori oleh Dr. Sun Yat Sen.

Sebagai masyarakat yang tinggal menetap di Indonesia jauh di masa sebelum kedatangan bangsa Belanda, Peranakan Tionghoa generasi pertama sebenarnya telah menyatu dengan penduduk Indonesia yang lain. Kebudayaan mereka pada masa sebelum kedatangan kolonial Belanda juga telah dapat terakulturasi dengan baik. Akan tetapi karena kebijakan kolonial, ikatan emosional tersebut meluntur. Di samping itu banyaknya pendatang baru asal Tiongkok yang langsung hidup dalam kebijakan kolonial tersebut sedikit banyak memberi pengaruh, terutama terkait bagaimana mereka memahami dan melihat nasionalisme Indonesia.

Setidaknya terdapat tiga orientasi nasionalisme yang berkembang di kalangan masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia. Pertama, adalah mereka yang menjadikan negeri Tiongkok sebagai orientasi perjuangan. Orientasi nasionalisme yang berkiblat ke Tiongkok ini tidak lepas dari menyebarnya gerakan pembaharuan yang terjadi di negeri asalnya. Meski sebenarnya mereka sudah tidak lagi banyak mengenal negerinya, baik melalui kontak langsung, bahasa maupun keterikatan sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun