Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mencari Muka atau Memarketing Diri Sih?

5 Juli 2019   15:05 Diperbarui: 5 Juli 2019   15:07 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Memadukan keterampilan dan kesempatan untuk kesuksesan membutuhkan keputusan." 

Hidup manusia tidak bisa terlepas dari persaingan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut bermula timbul dari dalam diri untuk bisa menunjukkan siapa jatidirinya, supaya tetap diperhatikan oleh pihak lain.

Dalam persaingan ini, akan banyak taktik dan intrik yang perlu dilakukan untuk bisa tetap eksis di sebuah komunitas itu, baik di sekolah, kampus atau dunia kerja. Awalnya mungkin sahabat karib, namun setelahnya bisa menjadi sebuah persaingan demi menunjukkan siapa yang lebih berhak atau unggul.

Hingga muncullah olokan yang berkata, "Hati-hati, dia lagi cari muka, lho." (Memang mukanya ke mana?). Lalu mulai dikucilkan dianya. Bahkan sahabat akrabnya, tanpa lebih dulu konfirmasi dengan orang itu, akhirnya juga memusuhinya dengan cara menjauhinya.

Sebuah Kisah

Saat sebagai sales baru di sebuah perusahaan, lalu Sales Manager ingin meningkatkan penjualan, lalu membuat kompetisi di antara para sales yang ada. Sebagai pendatang baru, maka saya sering di-briefing secara pribadi. Alhasil penjualan saya tertinggi dari antara sales senior yang ada.

Saya pribadi senang luar biasa, karena sebagai pendatang baru bisa memenuhi target yang ditentukan, bahkan lebih. Otomatis komisi juga meningkat. Lalu saya mengajak teman-teman sales juga dari admin, untuk saya traktir makan siang.

Yang terjadi, mencengangkan, tidak ada yang mau, khususnya teman-teman sales, kecuali satu orang yang memang sejak awal dekat dengan saya. Ada seorang admin yang awalnya mau, lalu tiba saatnya, dia bilang, "Semua tidak bisa, maka saya juga tidak deh." Teman sales yang akrab dengan saya itu, juga demikian tidak bisa. Saya terbengong dan curiga ada sesuatu yang tidak beres.

Waktu pun berjalan, omzet saya tetap tertinggi. Hingga suatu hari tanpa sengaja, teman akrab sales itu, saat sama-sama nongkrong di sebuah warung nasi, curhat tentang pasar yang sepi. Lalu saya menjelaskan apa yang dikatakan Sales Manager kepada saya, sehingga pasar saya tetap stabil.

Dan di sela-sela diskusi itu, lalu dia berkata, "Teman-teman kita itu curiga sama kamu, kalau kamu 'cari muka' sama Sales Manager. Langsung saya teringat saat mau ajak traktir makan, kok tidak ada yang mau. Lalu saya ajak dia ketemu sama yang lainnya.

Suatu hari, saat hampir setengah dari total sales itu kumpul, lalu saya menceritakan siapa saya. Bahwa dalam dunia sales ini, bukan orang baru. Telah bekerja di beberapa perusahaan. Lalu berjumpa dengan Sales Manager itu dan mengajaknya bergabung untuk meningkatkan penjualan di perusahaannya yang sedang lesu.  

Saat briefing itu, Sales Manager tidak menjelekkan teman-teman, karena sadar pasar lagi sepi. Namun beliau mengajak tukar pikiran dengan saya untuk menerobos pasar yang sepi ini. Jadi teman-teman mohon pengertiannya, bahwa saya gabung di perusahaan ini, "Bukan cari muka, tapi cari uang."

Sebuah Persaingan

Mungkin kita juga mengalami dengan model yang berbeda. Sedang bekerja giat di kantor, namun dicurigai sedang cari muka. Sering dipanggil bos, namun dipikir sedang menjelekkan sesama karyawan. Meskipun ini juga tidak menutup kemungkinan, sebagai sarana untuk bisa menonjolkan diri di hadapan bos.

Kita tidak bisa tahu isi hati orang. Namun hidup penuh dengan persaingan. Berpikir positif lebih baik dalam menghadapi persaingan ini, daripada penuh curiga, yang bisa melukai baik secara lahir dan batin.

Jika berjumpa dengan seseorang yang suka dekat dengan atasan atau orang penting tertentu dalam komunitas atau perusahaan, tidak perlu langsung curiga sedang cari muka.

Meski bisa diawali cari muka, namun dia sedang berjuang untuk memarketing diri. Saya menggunakan ungkapan memarketing diri ini, supaya lebih enak didengar, daripada mengatakan menjual diri, yang bisa berkonotasi ke arah prostitusi.

Memang antara 'mencari muka' dan 'memarketing diri' itu berbeda makna, namun tetap bisa berkaitan antara yang satu dengan lainnya dalam perkembangannya. Keduanya bisa saling melengkapi dalam menghadapi persaingan.

Bisa berawal dari mencari muka kepada seseorang, hingga akhirnya menjadi cara untuk memarketing dirinya. Sebaliknya, bisa berawal secara profesional untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya,  supaya bisa dinikmati oleh seseorang, namun akhirnya menjadi ajang mencari muka.

Di sinilah kita tetap perlu untuk membedakan antara keduanya, supaya tidak merasa terintimidasi dalam menghadapi persaingan hidup atau kerja dan dalam melayani para pimpinan yang ada di atas kita.

Apakah perbedaan antara 'mencari muka' dan 'memarketing diri'?

Mencari Muka:
1. Motivasi: dirinya eksis, tetap diperhitungkan.
2. Metode: mengunggulkan diri, tebar pesona, menjatuhkan yang lain.
3. Mutu: bukan prestasi kerja, pintar manipulasi prestasi orang lain.

Memarketing Diri:
1. Motivasi: kemajuan bersama.
2. Metode: memberi masukan yang positif dan membangun, tidak menjelekkan yang lain.
3. Mutu: prestasi kerja, dan akan menunjukkan prestasi lainnya.

Jika telah bekerja dengan serius dan mendapat pujian karena prestasi kerja, maka tidak perlu memusingkan, jika ada yang mengejek, "Itu karena mencari muka."  Kalau perlu bekerja lebih produktif, kreatif dan inovatif lagi.

Memarketing diri itu sedang menunjukkan dirinya bisa dipercaya untuk sebuah tugas dan senantiasa berhasil. Sehingga namanya bisa terngiang-ngiang dan dibicarakan oleh pihak lain. Mereka bisa memuji kita bukan saja di depan kita, tapi juga di belakang kita.

Saya pernah menjadi sales dengan produk asesoris otomotif, namun barang yang saya bawa dengan mobil boks (canvasser) itu lebih mahal dari para saingan dengan merk yang sama.

Sampailah di sebuah kota, lalu masuk ke sebuah toko dan ditolak mentah-mentah, seperti sales sebelum saya. Baru mau masuk ke toko itu, lalu bosnya melihat sopir saya langsung berkata, "Saya tidak beli. Sudah tidak perlu mengeluarkan contoh-contoh." Lalu saya tanya, "Kenapa?" "Barangmu harganya mahal-mahal," lanjunya.

Saya terkejut. Sesungguhnya mau langsung keluar dari toko itu. Lalu saya pikir, "Tidak dapat omzet." Lalu saya lihat anaknya sedang bermain sendiri, lalu saya bermain-main dengan anaknya itu. Hampir 3 - 4 jam menghabiskan waktu. Membosankan benar. Jengkel.

Tapi demi dibeli barangnya, saya tetap bertahan dan menghibur diri. Hingga ada kesempatan saya coba menawarkan lagi, sambil mengecek barang-barang di toko yang habis. Lalu sentaknya, Tidak perlu coba-coba merayu saya yach. Barangmu mahal dari pasaran." "Nggak kok," jawab saya.

Lalu saya mengalihkan cerita tentang yang lain yang disukainya. Hingga kita serasa bersahabat, lalu saya tawarkan lagi. Singkat cerita sudah setengah hari di tokonya lalu saya coba tawarkan lagi. Akhirnya dia order barang yang lebih mahal dari pasaran melalui saya, di atas omzet biasa dari sales terdahulu.

Saat di atas mobil yang meluncur ke kota lain, sopir bertanya, "Kamu apain kok bisa order segitu banyak?" Saya ceritakan, "Saya tidak jual barang kita. Saya jual diri saya. Mungkin dia merasa cocok mendapat teman bicara atau apalah. Saya tidak tahu."

Memarketing diri itu sedang mempertaruhkan diri kepada orang lain supaya apapun yang diucapkan dan dilakukannya bisa dipercaya. Sebuah nasihat berkata, "Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar." Nama kita adalah brand kita. Kita boleh berganti kerja, orang bisa tetap mencari kita.- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun