Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Merawat Keluarga: Dari Cekcok Makin Cocok

6 September 2020   14:17 Diperbarui: 7 September 2020   22:33 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
polyamorydiaries.com

"Mungkinkah pernikahan tanpa cekcok?"

Pertanyaan ini terkesan sangat sederhana, tetapi sesungguhnya merupakan pertanyaan paling mendasar terkait dinamika dalam kehidupan pernikahan. Pertanyaan lebih lanjutnya adalah, jika dalam sebuah pernikahan tanpa cekcok sama sekali, apakah ini berarti pernikahan bahagia?

Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, mari kita mulai dengan mengingat kembali apa itu pernikahan?

Akar kata pernikahan adalah nikah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerjemahkan kata nikah sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Ketika dua orang memutuskan untuk menikah, maka keduanya akan hidup sebagai suami istri. Hidup tanpa ikatan pernikahan yang diakui oleh hukum dan agama, sejatinya merupakan pelanggaran terhadap hukum dan agama.

Secara hukum, pernikahan di Indonesia diatur dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974 yang kemudian diperbarui dengan UU RI No 16 Tahun 2019.

Dalam UU tersebut, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lebih lanjut, terkait syarat-syarat pernikahan termuat dalam bab II pasal 6 dan 7. Pada pasal 6, sebuah pernikahan dapat dilaksanakan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal ini menjamin bahwa setiap orang berhak menolak pernikahan yang dilangsungkan jika ada unsur paksaan.

Terkait usia minimal pria dan wanita yang berniat melangsungkan pernikahan, pada pasal 7 dijelaskan bahwa usia keduanya harus sudah mencapai umur 19 tahun. Untuk penikahan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, dapat dilaksanakan dengan keharusan mendapat izin dari kedua orangtua.

Jika terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud di atas, orangtua pihak pria dan/atau orangtua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup dan telah terlebih dulu mendengarkan pendapat kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun