Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Merawat Kedekatan dengan Si Kecil Ketika Ibu Harus Berkarier

1 Juni 2020   10:15 Diperbarui: 1 Juni 2020   16:20 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membangun kedekatan dengan anak meski orangtua berkarir (Sumber: Thinkstockphotos)

Saat ini perempuan Indonesia telah menikmati perjuangan Kartini, tokoh emansipasi wanita. Tak ada belenggu lagi bagi kaum hawa untuk meraih cita-cita dan harapannya. 

Perempuan bisa sejajar dengan kaum Adam dalam mencapai cita-cita itu. Mereka bisa bersaing secara sehat, bekerja di luar rumah atau berkarier.

Perempuan berkarier selain menjalankan perannya sebagai ibu sudah banyak kita lihat. Entah berkarier di bidang kesehatan, pendidikan, seni, politik dan sebagainya.

Pada akhirnya, ketika ibu berkarier di luar rumah maka akan mengubah pola atau gaya hidup termasuk dalam merawat buah hati. Setidaknya itu yang saya alami.

Sebelum menikah saya sudah bekerja di sebuah instansi sekolah. Untuk meninggalkan dunia saya tentu sangat berat. Apalagi mengingat perjuangan saya ketika kuliah juga lumayan berat.

Bagaimana saya bisa mencapai target agar kuliah tidak "mblandhang" atau melebihi 5 tahun. Saya sebagai salah satu anak yang mengetahui perjuangan kedua orangtua dalam menguliahkan keempat anaknya, rasanya juga tidak tega bila pada akhirnya saya hanya berada di rumah. 

Saya merasa harus memanfaatkan ilmu saya agar tidak mengecewakan kedua orangtua. Ya meski ketika hanya berada di rumah ---menjadi ibu rumah tangga--- bukanlah sesuatu yang buruk. Tak ada ilmu yang sia-sia. Bahkan menjadi ibu rumah tangga itu sangatlah mulia.

Beruntung saya memiliki suami yang memang sedari awal sudah mengetahui bahwa saya bekerja di luar rumah. Dia memberikan kebebasan kepada saya untuk berkarier. Asalkan saya bisa menjaga diri dan membagi waktu.

Konsekuensinya saya begitu pulang kerja pastinya meminimalisir bepergian sendiri atau dolan. Saya tentunya harus menghormati suami yang mempercayai saya. Kalaupun mau bepergian atau dolan ya harus bersamanya.

Ya setelah menikah saya menyadari bahwa saya tidak bebas lagi. Tidak bebas untuk melakukan apa saja, di mana saja dan dengan siapa saja.

Ketidakbebasan ini semakin besar ketika telah lahir buah hati di antara kami. Meski saya melihat saudara atau teman masih bisa menikmati dolan sendiri, saya tidak memilih untuk melakukan hal yang sama. Biarlah saya menjadi perempuan "rumahan".

Anak yang ---selama saya bekerja--- bersama pengasuh atau Simbah utinya, harus segera saya "pegang" atau saya asuh sendiri sesampai di rumah. Bahkan ketika jam istirahat, saya berusaha untuk menengok anak. Kebetulan tempat kerja tidak terlalu jauh dari rumah. 

Ketika masih harus memberi ASI eksklusif pun saya rela bolak-balik ke rumah di jam-jam istirahat. Alhamdulillah pimpinan bisa bertoleransi dan memahami anak buahnya. Ini tak hanya berlaku untuk saya tentunya. Teman kerja lainnya pun merasakan hal yang sama. 

Berkarir tetap harus menjaga kedekatan emosional dengan buah hati (Ilustrasi: parenting.orami.co.id)
Berkarir tetap harus menjaga kedekatan emosional dengan buah hati (Ilustrasi: parenting.orami.co.id)
Selain itu saya tentunya menabung ASI dalam botol yang bisa disimpan pada freezer karena ada kalanya tidak menjenguk anak di jam istirahat. Jadi menabung ASI tetap jalan terus agar terpenuhi ASI eksklusifnya.

Bagaimana pun saya memang ingin anak tetap merasa dekat dengan ibunya. Saya pribadi merasa harus selalu mengetahui tumbuh kembang anak. Baik ketika jam kerja maupun pulang kerja, saya memantau atau berkomunikasi perkembangan dan pertumbuhan anak. Makan minum, aktivitas anak selalu saya tanyakan kepada pengasuh atau simbahnya. 

Meski dengan sisa tenaga selepas beraktivitas di luar rumah, kedekatan emosional dengan anak harus terus dijaga. Hal ini karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak yang sehat. Jika anak sehat maka kecerdasan akan berkembang pula sesuai potensi yang dimilikinya.

Sejak memiliki satu anak hingga saat ini ---tiga anak--- saya melakukan hal yang sama. Selama saya bekerja di luar rumah, anak bersama pengasuh atau simbah utinya. 

Baru siang hari setelah sampai rumah saya menghabiskan waktu bersama anak. Bercengkrama bersamanya dengan melakukan banyak hal, menyanyi, menggambar, bercerita dan sebagainya.

Jelas, dalam keadaan memiliki balita, saya merasa kurang piknik. Istilah Jawanya kecinthung, atau tidak bisa bebas ke mana-mana. Namun saya berpegang pada prinsip bahwa itu adalah risiko saya yang bekerja di luar rumah.

Bermain bersama anak, saya anggap sebagai pengganti dolan ke sana kemari. Ya... ketimbang kelak saya menyesal karena merasa kehilangan momen-momen penting ---tumbuh kembang--- anak, lebih baik saya menunda keinginan bersenang-senang.

Saya menyadari bahwa kedekatan dengan anak harus dipupuk sejak awal. Agar kelak ketika mereka dewasa, meski mereka sulit meluangkan waktu untuk ibu bapaknya, anak akan selalu merindukan orangtuanya.

Dengan kerinduan itu akan menuntun mereka untuk meluangkan waktu bersama orangtuanya yang semakin menua. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun