Pada dasarnya anak adalah juara di bidangnya masing- masing. Oleh karenanya guru tak membanding- bandingkan nilai pengetahuan dan keterampilan. Guru menyadari bahwa siswa itu memiliki keunikan sendiri- sendiri.
Sebagai contoh, X di sekolah saya sering berbuat onar tetapi hafalan Alqurannya lumayan bagus. Meski masih berupa kemampuan menghafal, sebagai guru saya tetap mengapresiasi. Tinggal dengan pendekatan spiritual nanti bisa saya gunakan untuk menasehati agar si X tidak berbuat onar lagi.
Ada kisah lain, A, dia termasuk siswa temperamen. Namun A memiliki kemampuan menggambar. Mengenai sifat temperamennya memang agak sulit dikendalikan.Â
Siswa C, gampang nangis. Sungguh menghadapi siswa seperti ini juga butuh kesabaran tinggi. Namun ternyata C ini sangat berbakat dalam seni baca Alquran. Suaranya merdu. Tak jarang dia mengikuti lomba keagamaan.
Sementara E, anaknya kurang mampu dalam pelajaran tetapi jangan tanyakan tentang prestasi olahraganya. E sering mewakili sekolah dalam mengikuti berbagai lomba.
Itu gambaran betapa setiap anak adalah juara. Pastinya juara di bidangnya masing- masing. Juara bukan berarti bahwa anak harus menguasai banyak bidang. Cukup menguasai hal yang paling dikuasainya, dia sudah berprestasi.
Jika ternyata anak juga pandai dalam mata pelajaran Matematika dan mata pelajaran umum lainnya, itu adalah bonus yang dikaruniakan untuk anak tadi.
Orangtua, guru, lingkungan dan siapapun harus memahami hal itu. Saat ini sudah bukan saatnya lagi mempertanyakan kejuaraan ketika menerima rapor karena penilaian sangat memperhatikan banyak pertimbangan. Tak hanya kemampuan akademik saja yang dicantumkan dalam rapor.
Di Indonesia sendiri memang belum ada sekolah khusus sesuai bakat anak. Bukan berarti anak tak bisa mengeksplorasi bakatnya. Akan lebih baik jika orangtua mengembangkan bakat anak dan mendampingi anak dalam belajar.Â
Mari, menjadi orangtua yang berpandangan luas bahwa semua anak juara.Â